Undangan dibanting Nyonya Kardun ke atas meja, dibuntuti wajah meregut. Drs. Karta Dundawigena alias Kardun terkejut. Ia tidak menyangka bahwa istrinya akan bereaksi semacam itu. Tadi ia menyangka bahwa undangan resepsi itu akan mampu membawa seribu kecerahan dalam hati sang nyonya. Ternyata dugaan itu meleset. Seperti melesetnya dugaan akan lancarnya tuntutan kenaikan gaji guru ke gedung MPR menjadi 300 %, tunjangan guru 500% dan tuntutan anggaran pendidikan sampai 35 % di APBN.
“ Mengapa Tin, kau begitu ? Padahal aku sudah susah payah untuk mendapatkannya dari Bung Cunaryo. Rerepsi itu hanya akan di kunjungi undangan terbatas. Mestinya kau bergembira menerimanya.” Dengan wajah yang kecewa Pak Kardun melihat sikap istrinya.
“ Bukan undangan itu Kang, yang membuat aku sedih.” Sahut sang istri, dengan maksud mendinginkan suasana dan tidak bermaksud mengecewakan suaminya.
“ Habis apa ?” Tanyanya keheranan melihat sikapnya yang kemudian berubah cepat menjadi tenang.
“ Habis, apa yang mesti kupakai dalam resepsi itu ?”
“Bukankah brokat yang baru kau cicicl dari bu Uwar masih baik?” “ Atau itu seragam degung yang kau pakai tahun lalu dalam Pasang Giri Hari Guru –kan sungguh manis kulihat……” Ia berhenti berkata.
Ia berbicara sendiri dalam hatinya. Aku yakin bahwa perkataan itu tak akan mampu membujuk istriku. Melipur seorang istri yang merengek agar dibelikan pakaian baru sama sulitnya dengan menjinakan seekor banteng. Ia tersenyum sendiri melihat sikap istrinya.
“ Biarlah aku takkan pergi saja. Berikan saja undangan itu pada yang lain, yang mampu berpakaian layak.” Istrinya menegaskan sikapnya terhadap undangan itu.
Bung Kardun memutar otak sesaat. Ia memcoba mencari jawaban terhadap masalah yang cukup rumit ini. Barangkali gaji baru mampu memberikan jawaban ??? Wajahnya berseri-seri sesaat untuk kemudian ditutupi mendung. Cuma gaji pokok 15 % yang ditambahkan. Dan itupun baru kan muncul setelah resepsi itu. Kartu kredit buat menggesek belanjaan di Mall ia tak punya. Tiba-tiba ia gembira.
“ Mah, aku kan punya simpanan di Tabungan Simpedes di BRI, ada sekitar dua ratus ribu perak. Besok aku akan mengambil simpanan itu seratus ribu untuk membelikan baju baru… untuk mu Mah..” Pak Kardun berusaha agar istrinya tetap bahagia dan ceria.
“Baiklah, kalau begitu.. terserah akang saja.” Ia mulai tersenyum karena suaminya telah berusaha sungguh-sungguh memperhatikan keperluannya.
Dengan kendaraan Vespa ia mengantar istrinya ke sekolah sebagai guru SD, dan ia sendiri ke sekolah SMU tempat ia mengajar. Sepulang mengajar Pak Kardun dan istri mengambil uang di BRI sebanyak Rp 100.000,- untuk membeli pakaian yang layak. Mereka mendatangi sebuah Mall, FO ( Factory Outlet), Pasar Baru (yang sudah lama tapi namanya baru terus).
“ Mah, cari sendirilah pakaian yang pantas buatmu agar kelihatan cantik gitu.” Ia melihat senyum manis diwajah istrinya, secercah matahari di sore itu.
“ Oke Kang, aku akan mencari model yang paling mutakhir…model apa yah.” Ia terlihat bingung mencari pakaian yang bagus-bagus dan indah, tentu saja yang serasi dengan tubuhnya dan terutama dompet suaminya seorang guru.
Dengan sabar Pak Kardun mengantar isrinya memasuki satu toko ke toko lain, mencoba pakaian yang satu dengan pakaian yang lain, demi kebahagiaan sang isrti yang ia cintai.
Baju sudah selesai Drs. Kardun merasa bangga ketika melihat istrinya berpamer di depan kaca lemari. Namun ia kaget melihat wajah istrinya hanya gembira beberapa saat saja.
“ Apalagi kau Tin. Apa bahannya kurang cocok. Apa warnanya ? kan kau sendiri yang pilih ?” Ia bertanya keheranan melihat istrinya cemberut dan meregut kembali.
“ Bukan bahan ataupun warnanya kang.” Sahut sang istri mendinginkan suasana, yang menimbulkan perdebatan lagi.
“ Habis apa?” Ia ingin meminta ketegasan istrinya.
“Habis apa yang akan ku pakai ke resepsi itu ? Kalung 8 gram pun kita tak punya. Apalagi gelang. Soal gelang tak apalah. Orang biasanya tak melihat tangan, tapi leher Kang, leher. Itu sungguh nampak. Apalagi kalau polos. Bila bersalaman, bila masuk ruangan, orang-orang akan segera melihat bahwa leherku kosong…kosong Kang.”
“Tapi…kan lehermu bagus.” Ia menghibur membujuk istrinya.
“Kau tak usah bergurau kang.” Kata bu Kardun dengan kecewa. “ Biarlah aku tidak jadi saja….berikan saja pada yang lain undangan itu” Ia menagis dan merebahkan diri ke tempat tidur.
Dalam hatinya Pak Kardun berfilsafat tentang seribu satu keanehan ciptaan Tuhan yang Maha Indah yang disebut perempuan itu. Tiba-tiba ia mendapat ilham.
“ Mengapa kau susah-susah. Toh yang sangat kita perlukan ialah untuk dipakai pada malam itu. Aku tahu bahwa bibimu tante Nerkom banyak perhiasannya, kukira kau dapat meminjamnya barang satu malam.” Ia berusaha mencarikan jalan keluar agar istrinya tetap bersemangat untuk tidak putus asa dengan keadaan yang dihadapi sekarang.
“Baiklah kang, aku besok ke rumah Tante Nerkom.” Wajahnya nampak cerah, tanda setuju.
Sehari sebelum resepsi itu Bu Kardun berkunjung ke rumah Tante Nerkom dan setelah beberapa patah kata pembukaan, menceritakan kesulitannya.
“ Begini Tante, saya ada rencana untuk menghadiri resepsi di sebuah hotel, tetapi….” Dengan panjang lebar ia menceritakan maksud dan tujuannya dengan suara yang memelas.
“Yaa Alloooh, ari Enden, kepada Enden teh, Embi sedah menganggap anak sendiri, syukur-syukur … Endeng datang pada Embi. Kepada siapa lagi Enden minta tolong bila dalam kesulitan, kecuali pada orang tua. Silahkan si lucu sianak Embi, pilih sendiri. Mau yang mana yang akan dipakai.”
Setelah menghadapi kesulitan karena terlalu banyak perhiasan Tante Nerkom yang bagus-bagus, akhirnya Bu Kardun memilih sebuah kalung dengan bermata zamrud berwarna merah.
“Aduh, tante bagus-bagus sekali, saya bingung memilihnya?” sambil memilih dan mencoba memakai satu persatu.
“Ah, biasa-biasa saja…” Tersenyum sambil bangga dalam hatinya karena dipuji perhiasannya.
“Tapi itu yang merah…, rasanya serasi dengan pakaian yang aku pakai nanti…Apa namanya, Tante ?”
“Akh, tidak ada namanya, tapi Tante memberi nama Zamrud Merah Hati Titanic, hahaha … karena membeli ketika Tante dan Oom Nerkom pulang nonton Film Titanic.” Dengan bangga tante Nerkom menceritakan kejadiaanya.

Dalam resepsi itu Bu Kardun menjadi pusat perhatian. Banyak ibu-ibu dan juga bapak-bapak bertanya-tanya tentang wanita muda yang cukup menarik itu. Apabila Bu Kardun tahu bahwa dirinyalah sebagai manusia, secara paripurna dan bukan kalung atau pakaiannya, atau selopnya yang diperhatikan dan apabila ia sadar bahwa perhiasan badani dan personalitas lebih menentukan daripada perhiasan buatan insan akan tertolonglah rumah tangga dari ketidak puasan hidup.
“Mah, ini Istri Bupati, Ibu Maemunah.” Ia memperkenalkan istrinya dengan ibu Bupati.
“Entin” Sambil menjabat Ibu Bupati dengan bangga.
“Aduh, serasinya pakaian yang dipakai dengan kalungnya, dimana belinya Neng ? Sabil menggoyangkan kepala dengan penuh bangga.
“Ah, biasa saja, bu . Ibu terlalu memuji…” Membalas dengan senyum bangga di puji ibu Bupati.
“ Mah ini, Bapak Kepala Kandep Pendiknas dan Ibu.” Pak Kardun berusaha membahagiakan istrinya.
“Ini Kolonel Tatang dan Ibu.” Kembali Pak Kardun memperkenalkan seorang pejabat kepada istrinya.
“Ini Bapak dan ibu Ketua DPRD.” Pak Kardun yang mengharapkan keceriaan dari istrinya.
Wajah bu Kardun berseri-seri selama resepsi berlangsung. Ia diperkenalkan dengan pangede-panggede dan nyonya-nyonya yang dalam hati mereka mengaggumi kecantikannya. Setelah acara resepsi selesai, mereka menunggu di pelataran parkiran menunggu jemputan, para undangan yang mengenal Pak Kardun menawarkan tumpangan.
“ Pak Kardun mari kami antar sampai ke rumah, kebetulan kami lewat rumah bapak !!!” Bapak Bupati mengajak masuk mobil sedan barunya di balik mobil.
“Terima kasih Pak Bupati, kami sudah mencarter kendaraan…” Menggangguk sambil mempersilahkan maju terus kepada Bapak Bupati.
“ Ayoh atuh, Pak Kardun saya antar sampai di rumah, aman sama saya mah.” Kata Kolonel Tatang mengajak dengan halus.
“ Terima kasih Pak Kol. Tatang, kami sudah menunggu carteran mobil.”
” Ayo mah sudah agak sepi, mana becak carteran kita itu, mang Oyo itu, tidak nongol-nongol.” Tanya pak kardun kepada istrinya.
“Maaf …Gan mamang tadi di usir tidak boleh parkir disini, jadi mamang parkir di warung pojok itu…Ibu Oneh.” Mang Oyo memelas memohon dimaklumi atas keterlambatannya.
Apabila dalam resepsi wajah Bu Kardun itu seperti bulan purnama maka sepulang dari resepsi , wajahnya berubah menjadi bulan gerhana. Apalagi ketika sadar bahwa apabila nyonya-nyonya lain pulang ke rumah naik mobil, baik mobil pribadi atau dinas, ia dan suaminya mesti merasa puas dengan naik becak.
Dengan murung bu Kardun masuk kedalam rumahnya melewati sebuah gang yang tidak jauh dari jalan. Bu Kardun berdiri didepan kaca untuk terakhir kali memflas-back keadaanya dalam resepsi tadi, dimana ia memperoleh sukses gemilang. Pada saat itulah tiba-tiba wajahnya menjadi pucat.
“Kang, kalung itu… yang ku pakai hilang !!!!” dengan histeris ia berlari menghampiri suaminya.
“ Apa…??? Kalung itu hilang ? Masya Allah ? Coba kamu ingat-ingat dimana kira-kira jatuhnya ???” Ia terkejut mendengar keluhan istrinya.
“Tidak tahu kang, tapi … waktu aku naik becak kalung itu masih ada !!! mungkin jatuh waktu turun dari becak ? Ia mencoba mengira-ngira jatuhnya kalung itu.
Setelah dicari-cari didalam dan dihalaman rumah dan ternyata tidak ada, malam itu juga Drs. Kardun pergi ke tepat resepsi untuk mencari kalung itu dengan naik vespa si Mungil Hijau. Juga di tempat mereka berjalan menuju tukang becak tidak ditemukan.
“Celaka Tin.” Keluh Pak Kardun “Kita mesti menggantinya.”
Sang istri tak mampu berkata sepatah katapun. Bingung dan malu kepada suaminya.
“Besok kau katakan kepada Tante Nerkom, bahwa kalung itu sedang diperbaiki karena ikatannya lepas”
“Baiklah Kang …maafkan saya kang… ini salah saya kang !!!” Dengan menangis ia memohon pertimbangan kepada suaminya yang sedang termenung.
“Kita mesti menggantinya, itulah keputusan kita. Dari seluruh kekayaan hidup cuma satu yang tak boleh kita hilangkan. Kehormatan !! Harta duniawi keluarga kita tidaklah banyak. Kita harus mengumpulkan uang untuk membelikan kalung yang persis, seperti yang kita pinjam. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah ???.

Disebuah bengkel tempat temannya bekerja Dadan ia menawarkan motor vespa Hijau nya.
“Dan, aku butuh uang mendadak nih, mau menutupi pinjaman, aku butuh 2 juta, ini sebagai jaminanya motor vespa dan surat-suratnya, bila aku tidak mampu bayar boleh kamu jual saja !!! Ia memelas kepada temannya yang sedang mengawasi karyawannya bekerja.
“ Wah, Dun bukan akau tidak mau Bantu, tapi aku tidak punya uang sebesar itu…” Ia memcari keuntungan di tengah orang yang membutuhkan.
“Tolonglah, bagaimana kalau 1,5 juta…!!! Nanti kalau tuntutan para guru kenaikan tunjangan yang 300 % itu dikabulkan aku akan secepatnya mengambil motorku ini !!! Ia yakin Dadan temannya meskipun agak pelit tapi suka menolong sesama dalam sependeritaan.
“ Baiklah …1,5 juta, tapi bussines is bussines, kalau motor antik itu tidak kau tebus dalam 10 bulan aku akan jual motor itu.”
“Oke..lah” Ia termenung melihat vespa antik yang berjasa dalam memperoleh sarjananya telah berpindah tangan kepada seorang teman yang menjadi tengkulak motor.

Drs. Kardun mendatangi rumah Haji Mahmud, Bandar beras pada sore hari, dengan berjalan kaki, sambil membawa suarat-surat tanah yang akan ia gadaikan.
“ Begini Uak Haji, saya dan keluarga membutuhkan uang mendadak, saya bermaksud menggadaikan sawah di Rancagoong yang dekat dengan sawah uak Haji”
“Sebetulnya, uak sudah cukup dengan sawah yang ada, tidak perlu menambah areal sawah…, tapi dalam fiqih Islam kalau kamu mau pinjam uang itu harus ada borg, bortoch atau jaminan, jadi kamu butuh berapa nak !!!”
“Yah , karena sawahnya juga kecil uak Haji, bagaimana kalau 3,5 juta…?”
“Uak setuju saja, tetapi kalau malam ini uak tidak punya uang sebanyak itu, besok saja uak akan mencairkan deposito di Bank, kamu tunggu disana , yah…!!!”
“Terima kasih uak, kalau begitu saya pamit, Assalamu ‘alaikum…” sambil mencium tangan uak Haji.
“Wa alaikum salam waroh matullohi wabarokatuh”..

Ibu Kardun bermaksud menjual perhiasan emas di toko emas.
“Enci… saya mau jual perhiasan emas…berani berapa ci…!!!” Bu Kardun mengeluarkan perhiasan emas dari kantungnya yang masih disimpan dalam kotak kulit berwana coklat tua, tempat perhiasan orang tua jaman dahulu.
“Nanti dulu di timbang.” Si Enci menimbang seluruh emas dan menaksir harganya.” Yah semuanya ada 50 gram paling juga 2 juta.” Dengan mimik wajah yang tidak membutuhkan barang.
“ Murah teuing atuh ci… 2,5 juta lah..”
“Harga emas lagi turun, gara-gara dolar naik dan 2 mentri di ganti lagi..?”
“Murah teuing Ci … 2,25 juta kontan, saya jual.” Ia sudah malas berdebat masalah harga.
“Baiklah dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah…”
Emas perhiasan milik Bu Kardun dan warisan dari orang tuanya telah dijual tandas.

Dirumah Pak Kardun yang sederhana di Legokwinaya Pak Kardun dan Bu Kardun sedang mengkalkulasi hasil penjualan di siang hari tadi.
“ Aku berhasil mengumpulkan 6,5 juta rupiah, kamu berapa Tin ?” sambil menghitung dan mencatat sumber dana tersebut diatas kertas.
“ Tunggu aku hitung lagi ..” Ia menghitung satu persatu. “ Ada 3,6 juta kang, saya kira cukup untuk mengganti perhiasan itu ???” ku lihat di toko harganya itu 10 juta rupiah.”
“Kalau begitu ,. besok kita ke toko mas dan segera kita kembalikan perhiasan itu ..yah, 10 juta sudah terkumpul, ini adalah sebuah pengorbanan, demi sebuah kehormatan…” sambil menatap bangga melihat istrinya.

Dengan uang sepuluh juta rupiah tersimpan rapih dalam saku jasnya bagian dalam serta debaran hati karena takut uang itu hilang atau dicopet, Drs. Kardun dan istrinya pergi ke sebuah toko perhiasan permata dan mas, dimana mereka melihat kalung yang hampir serupa dengan yang mereka pinjam dari Tante Nerkom.
“ Si Eneng , ketemu lagi, mau jual emas lagi Neng ???” Kata si enci pemilik toko emas.
“Enggak Ci, sekarang mau beli, kemarin yang di jual sudah tidak jamannya, sekarang mau beli yang lebih mahal. Itu kalung berlian Titanic berapa harganya ?”
“Oh , itu mahal Neng harganya 10 juta rupiah terbuat dari rubby Eropa, biasa yang beli para artis Neng ?”
“Saya beli itu satu !!!!” Kang bayar uang nya !!! “ Ia memberi komando kepada suaminya.
Dengan sigap suaminya mengeluarkan uang yang disembunyikan di saku jasnya bagaian dalam.

Di rumah Tante Nerkom yang mewah itu, ibu Kardun bermaksud mengembalikan perhiasan itu
“Maaf, Tante kami baru bias mengembalikan perhiasan ini sekarang, karena suami saya sibuk sekali di organisasi PGRI mengurus tuntutan para guru ??” Sambil memberikan perhiasan yang sangat mahal itu.
“Tidak, apa-apa lucu.. yang penting kalian sehat-sehat saja.” Sambil menerima perhiasan itu tanpa di perhatikan langsung disimpan di tempat perhiasan dikamarnya.
“Maaf sekali lagi, kami tidak akan lama-lama karena di rumah tidak ada siapa-siapa, anak-anak di tinggalkan, anak-anak tidak ada yang memasak.”
“ Aduh buru-buru amat …lucu, belum minum-minum sedikitpun, tapi kalau begitu, tunggu sebentar Tante punya apel di kulkas buat si Ade dirumah !!!”

Di rumah pak Kardun sedang berembuk dengan anak-anaknya, Kamila dan Sansan.
“Kamila, kamu sudah besar, kamu tahu permasalahan keluarga kita, kita telah mengganti kalung Eyang Nerkom, yang hilang oleh ibumu, jadi sekarang papa dan mama harus membayar utang-utang itu ?
“ Yah Pap, kaka tahu , tapi Kaka tetap ingin dibelikan baju baru buat ulang tahun nanti !!! Ia memelas karena takut tidak dibelikan baju baru.
“Baiklah akan papa usahakan, hanya kamu harus memberi contoh pada adikmu untuk berhemat, tidak banyak jajan atau membeli yang tidak begitu diperlukan !!!”Kamila diam terlihat sedih.
Ibu Kardun sedang membacakan cerita kepada Sansan di tempat tidur, cerita tentang petani yang hidup sederhana meski dia kaya raya.

Pak Kardun untuk menebus motor dan gadaian sawahnya berusaha mencari tambahan penghasilan dengan mengajar privat les ke sana sini. Sementara bu Kardun melanjutkan keahliannya menjahit pakaian dan menjual kantong kepada ibu-ibu Darma Wanita. Bu Kardun yang semula hanya mengajar di SD dan mengurus rumah tangga, kali ini terpaksa turun tangan dengan macam-macam pekerjaan yang halal yang dapat mendatangkan uang.

Enam bulan kemudian utang-utang mereka lunas sama sekali. Dan betapapun besarnya perubahan mereka dalam waktu sesingkat itu. Ibu Kardun semakin dewasa, bukan saja dalam usia akan tetapi dalam pandangan hidup dengan sedikit mengorbankan sorot muka kegadis-gadisannya yang manja. Ia telah menjadi seorang wanita dewasa yang percaya pada diri sendiri.
Pada suatu hari kebetulan Bu Kardun berpapasan dengan Tante Nerkom di sebuah toko.
“Ya Alloooh, Enden sudah lama tidak datang ke rumah Si Embi. Dan mengapa Enden begitu berubah ? Dulu mah montok, sekarang kok agak kurus. Mengapa itu teh lucu, sakit ? Aduh kasihan teuing.”
“Ah, tidak apa-apa Embi mungkin karena kecapaian saja, hitung-hitung diet.”

Sedianya Bu Kardun mau menyimpan rahasia itu. Akan tetapi karena kini ia sudah berhasil berjuang dalam mengganti kalung itu dan membayar utang-utangnya maka tidak ada salahnya apabila Tante Nerkom ini diberi tahukannya.

“ Masih ingatkan Embi, ketika saya meminjam kalung Embi itu ?”
“ Ya.., Enden, mengapa kitu ?” kata Tante Nerkom
“ Embi terus terang saja, kalung itu hilang. Dan kami mesti menggantinya. Karena kami sadar bahwa kami bertanggung jawab atasnya. Bagi kami mengumpulkan uang Rp 10 juta bukanlah soal mudah. Kami mesti membanting tulang. Dan kini kami telah berhasil. Kami telah mengembalikan kalung itu dan utang-utang kami sudah lunas.”
Sorot muka membayangkan kebanggaan mengiringi perkataan Bu Kardun. Tiba-tiba wajah Tante Nerkom menjadi pucat.
“ Ya, Alloooh, kasihan teuing anak si Embi. Jadi Enden teh telah mengumpulkan uang sepuluh juta rupiah untuk mengganti kalung si Embi.”
“Betul, Bi dan kami berhasil.”
“ Ya, Alloooh, perhiasan mirah , murah jungjungan si Embi. Mengapa Enden begitu. Mengapa Embi tidak dikasih tahu ? Kasihan teuing. Ieuh, Enden Kalung si Embi mah Cuma…imitasi. Paling mahal harganya Cuma tiga puluh ribu perak………

(Diadaptasi dari cerpen Guy De Maupassant “ The Necklace)