Lapangan upacara pada hari senin pagi, pidato pengarahan Kepala Sekolah tentang tata tertib dan disiplin di sekolah.
Kepala Sekolah : " Cuma anak bandel yang beramput gondrong, rambut harus pendek dan rapih, setiap murid yang memasuki suatu sekolah harus sudah siap secara fisik dan mental untuk memenuhi tuntutan-tuntutan berupa norma-norma dari sekolah itu, orang yang rambutnya panjang berarti tidak disiplin." Dengan semangat berkhotbah tentang keharusan berambut pendek
"Copet-copet pasar baru kabarnya kebanyakan berambut pendek. Rambut panjang adalah urusan mode." Kata Jalil berbisik di barisan guru-guru.
" Sssst, diam kita sedang upacara, nanti bapak Kepala Sekolah marah tidak diperhatikan." Kata Kardun, dalam hati kardun berbisik " (Aku sendiri tidak setuju dengan pendapat Jalil itu. Dalam beberapa hal memang aku sependapat dengan Pak Kepala. Bahwa tiap murid yang memasuki suatu sekolah sudah siap dengan fisik mental untuk memenuhi tuntutan berupa norma-norma dari sekolah itu).
"Tapi aku tidak sependapat bahwa urusan rambut ada sangkut pautnya dengan nilai-nilai manusia secara pribadi. Rambut panjang berarti tidak disiplin, aku tidak sependapat." Kata Kardun sambil berbisik kepada Jalil.
EFEK pidato sang Kepala Sekolah itulah yang membuat aku duduk berserah kepala kepada Si Mamang tukang cukur di jalan Jengkol.
" Bagaimanapun juga adalah tidak adil apabila aku sebagai salah seorang guru di sekolah itu tidak memberikan contoh kepada murid-muridku." Dalam bisikan hati Kardun.
"Mau di cukur den, silahkan duduk." Dengan perkataan "Bismillah" si Mamang cukur mulai bereaksi.
Di mulai dengan menutupi badan dengan kain yang dulunya pernah berwarna putih. Kemudian dengan pencukur ketam yang tidak terlalu tajam ia mulai melaksanakan profesinya, memendekan rambutnya yang keriting ala sapu ijuk kekeringan, yang karuan saja karena sang ketam sudah waktunya di purnawirawankan membuatnya beberapa kali tercengir-cengir karena rambutnya bagian sisi tertarik oleh alat cukur yang kelewat antik itu.
"Aduduh.... pelan-pelan atuh mang !" Karena rambutnya tertarik oleh alat cukur.
"Baik Gan, "Nguk" mamang akan pelan-pelan "nguk".
"Namun bagaimanapun juga untuk bercukur yang lebih representatif berarti minimal 10.000 perak harus ku ungsikan ke kantong sang barbir. Dengan sedikit menangung resiko rambut tertarik-tarik aku bisa menghemat 7.500,- perak. Karena dimuka ku terpampang kertas kumal yang dimaksudkan sebagai tarif. Bunyinya : Cukur " SEDERHANA" Jalan Jengkol 57. Potong rambut Rp 2.500,- Jenggot Rp 1000,- anak-anak Rp 1.500,- lumayan. Sisanya yang Rp 7.500,- perak dapat aku belikan "layer" (makanan ayam bertelur) sebanyak 2 kg. " Guman Kardun dalam hati. "Yah lumayan hemat."
"Aden ini guru yah, kayak anak Emang, Nguk !!!"
"Iya, Mang guru SMP" Ternyata Si Mamang orangnya peramah, seperti biasa tukang-tukang cukur lain. Satu hal yang cukup unik dari si mamang ini, ialah apabila berkata tenggorokannya keluar bunyi "Nguk" seperti orang tercekik. Aku kurang tahu apakah si Mamang cukur ini adalah bekas korban bengek atau bukan." Guman Kardun dalam hati.
Sementara si Mamang bekerja sambil mengomong terus serta selingan bunyi nguk-ngukan, Pak Kardun menjamah sebuah surak kabar lama dan membacanya.
"Nguk" ! Kabarnya Den, mulai satu Nopember nguk mah, Aden kalau ngebonceng harus pakai helm dua-duanya."
"Hooh." Dengan malas Kardun menjawab, karena sedang membaca surat kabar.
"Anak Emang juga yang kerja Nguk ! di Esde Cikurutug tangtunya musti pake."
"Apa motornya ?" tanya Kardun diantara kantuk akan huruf-huruf.
"Motor Bebek '76, Den. Tada teuing lucunya. Pake motor bebek, yang nguk ! dijalannya sama dengan sepeda, pake helem lagi. Apalagi kalau bonceng istrinya Nguk !!Hehehe. Dua-duanya Nguk ! Harus pakai helem. Dan sekarang mah, Nguk ! kalau ngebonceng mesti ngejegang seperti laki-laki para istri teh."
"Tapi toh itu untuk keamanan para pengendara itu sendiri."
"Betul, Den, tapi kalau sudah cilaka mah, Nguk ! Cilaka. dan Lagi, Den, Nguk ! Kalau pake Helem rasanya para pengendara ingin ngebut saja nguk !"
" Tapi tokh dengan adanya helem maka kemungkinan kematian akan diperkecil."
Pada saat itu pula Pak Kardun membaca sebuah berita yang berbunyi :

HAMPIR BUNUH ISTRINYA
TUKANG CUKUR SENEWEN

Bandung (PR) seorang tukang cukur yang
berparktek di jalan J No. 57, nyaris membunuh
istrinya, apabila tetangga-tetangganya yang
mendengar teriakan minta tolong dari istrinya
tidak datang ketempat itu. Peristiwa yang terjadi
kemarin malam itu dapat diterangkan bahwa
tukang cukur itu sudah lama menderita penyakit
ingatan, sehingga dalam keadaan kalap ia hampir
membunuh istrinya dengan sebuah pisau cukur.
Untuk sementara waktu dst. dst.

Dia tidak selesai membacanya berita itu, akan tetapi secepat kilat matanya menuju papan tarif tadi :CUKUR SEDERHANA, JALAN JENGKOL 57"
"Wah tukang cukur ini yang masuk berita dalam koran yang hampir membunuh istrinya."Bahwa si Mamang yang Nguk-ngukan ini adalah seorang senewen. Bahwa dia kini di dalam cengkramannya. Bahwa gunting yang kini dipegangnya untuk memendekan rambut mungkin akan dipakianya untuk memendekan umurku. Segala sesuatu yang tak diharapkan bisa terjadi dari tangan seseorang yang sinting." Pikir Kardun dalam hati.
Bulu kuduknya mendadak berdiri, peluh mulai mengucur dari dalam dan ketiaknya. Sementara Si Mamang mulai memotong rambutnya sambil mulutnya kulihat kumat kamit bercerita diselingi nguk-ngukan dari tenggorokannya.
"Celaka aku ! Goblok aku ! Karena ingin menghemat 7.500,- perak demi ayam-ayam keparat itu aku mesti menyerahkan nasib pada tangan si tukang cukur sinting ini." Guman Kardun dalam hati.
Drs Kardun, melamun tentang keluarganya : " Beberapa kemungkinan akan terjadi. Istriku akan jadi janda, dan anak-anaku akan jadi yatim. Dan satu lowongan pekerjaan akan terjadi di sekolahku. Demikian pula PD V PGRI akan kehilangan seorang anggota biro meskipun sedikit kerjanya. Aku tidak memikirkan tunjangan kematian yang akan diserahkan Biro Sosek kepada keluargaku. Aku cuma memikirkan cara aku melepaskan diri dari tangan si tukang cukur ini."
Di ruang tempat tukang cukur ia melamun lagi : " Untuk adu tenaga dengan dia, orang sinting itu, apalagi dengan gunting di tangan, adalah perbuatan yang sama sintingnya. Dan terbayang olehku proses selanjutnya setelah gunting ini : "Pisau cukur! Bila aku tidak ditikamnya dengan gunting ini niscahya pisau cukur itulah yang akan mengungsikan aku ke alam barzah. Padahal aku kelewat betah di dunia Tuhan ini. Aku mesti mencari kesempatan melepaskan diri. Si Mamang melepaskan kain penutup badanku dan ...aku terlambat sepersekian detik karena setelah sebentar membuang rambut-rambut yang menempel pada kain itu sambil sebentar-sebentar terdengar bunyi nguk ! Ia tahu-tahu sudah menaruhnya kembali."
Dengan sebuah sikat butut ia mengulasi muka dan pinggir kepalanya dengan sabun dari kwalitas yang paling rendah. Ia melihat menjangkau sebuah pisau cukur.
Hatinya berkata kini persoalannya adalah : "Sekarang atau tidak sama sekali ! Bagiku saat itu adalah persoalan hidup dan mati.
Ketika si Mamang sambil tenggorokannya berbunyi nguk-ngukan sedang mengasah pisau cukur itu dengan kulit pengasah, secepat kilat dia melompat dari atas kursi itu dan lari keluar. Belum pernah ia merasa ingin lari secepat itu. Pantatnya seakan-akan ingin mendahului badan depannya dan seperti biasanya apabila dalam suasana ketakutan, pantatnya mulai memberobot terbatuk-batuk seperti stengun yang ditembakan otomatis. Dan dia lihat si Mamang keluar dan dia lihat akan mengejarnya. Tangannya kulihat memegang sesuatu benda yang diacung-acungkannya sambil berteriak sesuatu.
" Eeeeeeuuy, cukurnya belum selesai, jangan dulu lari....."
Pak Kardun berlari terus di kejar tukang cukur. Dan orang-orang melihatnya keheranan. Pak Kardun memang mirip pelonco yang sedang digojlog oleh senior-senior yang kuliahnya tidak tamat-tamat. Dengan mukanya penuh sabun dan tutup badan niscahya sangat tepat apabila disebut barongsai menari. Beberapa anak kecil kulihat menunjuk kearahnya sambil tertawa. Untung tidak ada seorang yang lidahnya latah untuk meneriakan : "Copet ! Karena apabila itu terjadi niscahya akan dikejar orang dan besar kemungkinan akan mendapat hadiah-hadiah bogem mentah.
Disebuah tikungan Pak Kardun berhasil melepaskan diri dari tutup badan yang cepat dia lemparkan. Disebuah gang kecil berhenti dan berjalan sambil melepaskan lelah.
"Tukang cukur sompret , untung aku tidak dibunuhnya, tapi ya ampun kantong ku tertinggal dan surat-surat dinas, wah celaka 12 ini." Di tempat itu Pak Kardun sadar bahwa tasku berisi surat-surat dinas dan bahan-banahn untuk "Suara Daerah" tertinggal di tempat si Mamang cukur yang bunyi nguk-ngukan dan sinting itu. Untuk kembali kesana adalah diluar segala kesanggupannya.
Pagi hari Si Jalil mendekatiku dan memberikan surat kabar, yang menjadi bahan perbincangan guru-guru di sekolah. Pak Kardun membaca surat kabar.

SAKIT INGATAN ATAU TIDAK BERDUIT ?

Bandung (PR) Seorang pria dengan muka penuh sabun
dan mengenakan tutup kain untuk bercukur telah
berlari-lari di jalan J. Menurut keterangan seorang
tukang cukur di Jalan Jengkol 57 dimana ia bercukur,
orang itu minta dipangkas rambutnya. Sementara
bercukur ia membaca surat kabar. Kemudian ketika
hampir selesai dicukur tiba-tiba melarikan diri,
sementara tasnya ia tinggalkan. Menurut nama yang ada
pada tas itu, ia bernama K dan pekerjaannya sebagai guru
SLA di kota ini. Tasnya menurut keterangan tukang
cukur itu telah dikembalikan ke jalan Talagabodas 56
dimana orang itu mengantor sebagai biro organisasi.

Macam-macam perasaan bergalau dalam hati Pak Kardun, malu, lucu, Dan merasa sebagai orang tolol saat itu.
" Dun, tukang cukur sinting itu yang kabarnya akan membunuh istrinya itu yang alamatnya di koran disebut jalan J 57 adalah memang pernah membuka tempat cukur di jalan Jomlo No. 57, bukan jalan Jengkol 57" Kata Pak Jalil sambil menyindir Pak Kardun dan memberikan kantong yang berisi surat-surat dinas itu.
"Heheheheh....saya kira dia yang sinting yang ada di koran itu. ternyata sama-sama sintingnya."



Doktorandus Karta Dundawigena alias Kardun yang punya lelakon ditunjuk menjadi Kepala Sekolah. Pak Hidayat ketika mendengar bahwa sahabat medoknya diangkat menjadi wakil Mentri Pendiknas yang paling top disekolah itu segera bersiap dengan setelombong ucapan selamat. Berita pengangkatan itu sungguh paling “Top” paling merupakan “Surprise”. Betapa tidak, karena seumur-umur mendorong kumisnya yang jarang ini, Pak Hidayat belum pernah mendengar keinginan doktorandus sobat Pak Hidayat itu untuk ikut “manggung” seperti insan-insan seangkatan Kardun yang sudah jadi penggede-penggede.
“Selamat nih bapak Direktur Drs. Karta Dundawigena, wakil Mentri Pendiknas di Legokwinaya.” Sambil mengulurkan tangan.
“Sompret, kau Hidayat monyong. “ Ia nyeletuk ketika Pak Hidayat mengulurkan tangan. “ Kau juga tahu, satu comotpun aku tidak punya ulah untuk di taksir bapak Kabin. Aku hanya pejabat Kepala Sekolah selama bapak Kepala sekolah mengikuti seminar di Jawa Tengah. Cuma karena aku yang paling senior atau paling sepuh atau paling karatan, maka aku naik pentas menjadi Kepala Sekolah darurat selama tiga minggu. Lain dari itu celakanya aku juga adalah wakil Kepala Sekolah jadi terpaksa tugas itu ditaruh diatas pundakku ini.” Yang terakhir diucapkannya perlahan-lahan.
“Tak apalah. Sedikitnya aku mengucapkan selamat padamu untuk tiga minggu selama kau menjadi insan paling top di sekolah ini.”
“Paling top tujuh puluh.” Kardun menyela. “ Untuk menjadi Kepala sekolah yang baik selama tiga minggu aku merasa berat, apalagi untuk selama karier. Ya kalau sekedar “Pangkat dulu kemampuan bagaimana nanti, Aku kira banyak yang mampu.”
“Ya, Itulah salahnya denganmu dan insan-insan tipe kamu.” “Kan kita bisa menjadi pemimpin sambil belajar ?”
“Bagiku tidak demikian. Kesiapan mental dan kesiapan kemampuan mesti berjalan bergandengan.”
“Kalau semua calon pemimpin beranggapan seperti kamu siapa pula yang mau menjalankan tugas-tugas memimpin ? Kapan pula kita akan mampu memulai sesuatu bila kita harus seratus persen ready ? Sambil tetap tidak mengerti akan pendirian sobat yang satu ini.
“Tidak, tidak banyak orang sependirian seperti aku. Untunglah ! Sungguh beruntung bahwa banyak yang punya ambisi mempertinggi karier itu wajar. Hanya yang jiwanya mati yang tidak punya secomot ambisi hidup. Kau pun jangan salah bahwa sangka bahwa aku tidak punya sedikit ambisi. Hanya mungkin bentuk dan way outnya yang tidak sama dengan sobat-sobatku yang lain.”
“Juga dalam timingnya tidak sama.” Kata Pak Hidayat menyela “Hingga sering kau ketinggalan kereta api.”
“Dari pada naik kereta api yang salah aku lebih baik tidak naik.”
“Itulah susahnya kalau berdebat dengan Kardun. Ia selalu siap dengan setelombong-telombong argumentasi, meski menurut hematku tidak semuanya tepat. Tapi biarlah Kardun punya pendapat sendiri asal tidak mengganggu jalan hidup orang lain yang tidak sependirian dengan dia.” Pikir Pak Hidayat.“Berbahagialah kita bila dalam menghadapi satu masalah kita berbeda pendapat. Artinya kita belum menjadi robot intelektuil.” Kata Kardun demi melihat aku terdiam, agaknya ia membaca pikiranku.
“Asal prinsip menghargai pendirian orang meski tidak menerimanya dan prinsip tidak saling mengganggu kita pegang teguh. Sebuah lagu yang merdu adalah lagu yang tidak bernada sama. Tidak eentoning tidak monotonous, sobat…” Sambil berjabatan tangan dengan Pak Hidayat.
Menjabat sebagai pemimpin darurat bagi insane setipe Kardun banyak menyedot keharusan-keharusan, menyesuaikan diri apalagi dari insane semacam yang punya lelakon yang kadang-kadang berpenampilan yang hanya difahami orang-orang yang dekat dengan dia. Namun demikian ternyata dia juga mampu menjadi wakil Mentri Pendiknas di sekolah itu. Hanya satu hal yang dianggap mengganggu kebiasaan rutinnya. Ialah latihan bulutangkisnya menjadi berkurang. Padahal badminton ini sangat berguna untuk mengimbangi lemak-lemak yang sudah mulai menghuni bagia-bagian tubuhnya. Biasanya tiap bebas mengajar, Kardun selalu nampak sedang memukul-mukul bulu bebek di aula.
“Waduh sudah janji main badminton dengan Pak Umar minggu kemarin, bagaimana yah ??? Sambil memegang reket bulu tangkisnya dan aduh perut ini tambah gendut saja.”
Santi salah seorang murid kelas II C mengahadap beliau…
“Pak saya mau minta ijin pulang, karena kepala saya pusing-pusing sekali, Maybe I have got a flu.” Katanya dengan dahi yang penuh dengan keringat.
“ Yah, memang kelihatannya kamu sakit perlu istirahat, biar bapak bikinkan surat ijin pulang, tapi jangan lupa langsung ke dokter, terus istirahat, karena sebentar lagi kamu akan menghadapi UAS.”
“Yah Pak terima kasih, mohon doa dari bapak mudah-mudahan ini bukan gejala flu babi…” Setelah mendapat surat pengantar sambil berjalan dengan gontai.
Orang tua murid masuk menghadap….
“Saya mau menanyakan, apa betul anak saya si Rini, setiap Kamis sore ikut latihan angklung, karena setiap hari kamis baru sampai dirumah pukul 21.00 WIB, begitukah.”
“Sebentar bu, Si Rini ikut angklung pulang jam 21.00 WIB.” Dengan heran mendengar laporan itu. “ Akan saya tanyakan dulu ke Pak Adang guru kesenian.” Sambil mengangkat gagang telepon menghubungi Pak Adang di ruang guru.
“Tolong Pak Adang, ini ada tamu, orang tua murid mau bertemu dengan Pak Adang, segera datang.” … “ Yah bu Pak Adang sedang menuju kemari.
Pak Adang masuk keruangan Kepala Sekolah.
“Ini Pak Adang bu, guru kesenian. Ini ibunya Rini mau menanyakan apakah setiap kamis sore, dia ikut latihan angklung.”Orang tua Rini dan Pak Adang bersalaman.
“Betul bu, Rini latihan angklung setiap Kamis sore, tapi maaf bu kita bias bicara di kantor saya saja, karena bapak Direktur masih harus bertemu dengan tamu yang sedang antri.
“Yah silahkan-silahkan…bu, supaya permasalahannya jelas.”

Diruang tunggu Pak Direktur Kardun sudah banyak menunggu secara antrian tukang agen densol, tukang buku tulis dan bacaan, pemborong bangunan dan orang tua siswa.
“ Kami dari perusahaan pengharum ruangan “Semerbak Harum” menawarkan kepada bapak macam-macam barang baru, perusahaan kami mempunyai selogan.”Malu bertanya sesat di jalan, sekali mencoba lupakan yang lain. Cring-cring hemat 20 % hemat 200 perak Pak, silahkan coba Pak?”
“Yah, untuk ruang pengharum sampai 2 tahun ini masih cukup persediaan, yah bila nanti habis, saya hubungi bapak 2 tahun lagi, saya minta kartu namanya saja !! Tegas Kardun.
“Terimakasih banyak pak untuk perkenalan ini.” Kata agen Densol.
“Ini buku-buku baru, masih hangat pak, enak dibaca, murah harganya, dapat di kredit 3 x bayar, untuk para guru dan untuk para siswa, untuk meningkatkan intelektual kita.”
“Yah, terima kasih, pada prinsipnya kita memang ada anggaran untuk pembelian buku-buku, tapi anggaran pendidikan hanya 6 % dari APBN jadi dengan anggaran ketat ini, kami belum bias membeli buku-buku tersebut, karena ada pos-posnya masing-masing, saya minta kartu namanya saja, nanti dihubungi kalau perlu.” Sambil berdiri menyalami kedua tamu tersebut.

Pukul 13.00 WIB, Direktur kita sudah tidak mendapatkan tamu, ia menyuruh kepada mang Oyo pesuruh sekolah.
“Mang Oyo sekarang sudah tidak ada tamu, pekerjaan saya sudah selesai, saya sudah janji sama Pak Umar minggu kemarin akan main bulu tangkis. Jadi kalau ada perlu apa-apa, ada tamu atau ada sesuatu yang harus di tanda tangani cari saja di lapangan bulu tangkis.” Sambil membawa kantong yang berisi raket, handuk dan kok.
“Baik pak, nanti mamang mencari bapak ke lapangan bulu tangkis.”

Dalam pertandingan Pak Kardun dan Pak Umar merupakan pasangan kompak, tetapi lawan kali ini bukan lawan yang cetek, lawannya pun tangguh. Point saling susul menyusul. Kedudukan 10 – 11. Tim Kardun kalah. Mang Oyo masuk permainan dihentikan.
“Pak ini surat yang tadi sudah di tik, tinggal bapak tanda tangan.”
“Surat undangan rapat mang, cing mang nonggong (membungkuk) akan saya tanda tangan.” Memegang bol point dan menandatangani di punggung mang Oyo.
“Terima kasih Pak, silahkan pak dilanjutkan.” Kata mang Oyo.
“Terima kasih mang , tolong fotocopy dan nanti bagikan pada guru-guru.”
Babak pertama Tim Kardun memenangkan pertandingan 15-13. Sejak menjabat sebagai kepala sekolah darurat, banyak urusan sekolah yang menuntut perhatian beliau. Belum lagi bicara mengenai tamu dinas dari Kabin. Permainan babak kedua tim lawan bermain lebih baik, Pak Kardun kurang konsentrasi permainan, banyak kecolongan.
“Dun, mainya konsentrasi dong, kita kecolongan melulu.” Kata Pak Umar teman Tim Kardun.
“Betul nih aku kekurangan konsentrasi.”
Permaian dilanjutkan kedudukan 6 – 12 untuk kemenangan Pak Hadi dan Pak Jaja.
“Maaf nih Pak Direktur mesti di kalahkan.” Sambil menyelesaikan pertandingan dengan sebuah smash, masuk kedudukan 8 – 15 untuk kemengan Pak Hadi dan Pak Jaja.
Baru saja rubber set akan dilanjutkan mang Oyo masuk aula.
“Gan, ada orang tua murid yang minta anaknya pindah, karena orang tuanya pindah tugas dinas.”
“Suruh ia menunggu barang dua puluh menit.” Kata Pak Kepala darurat.
“Tapi bagaimana yah Gan…” Pikir mang Oyo.
“Alaah silahkan menunggu saja di kantor. Tidak akan lama kok mang.” Kata Kardun sambil terengah-engah dan bermandi peluh. “ Katakan saja sedang ada urusan dulu.”
“ Ini juga urusan , ya Bang !” Kata Pak Hadi lawannya bertanding.
Ketika Kardun baru saja mulai kembali main, KM (Ketua Murid) kelas IIB masuk.
“Pak Kelas II B tidak punya gurunya. Pak Dadi sudah menyuruh mengerjakan soal tadi. Sekarang sudah selesai. Apakah kami boleh pulang ?”
Setelah berpikir sejenak Pak Kardun.
“Tidak, tidak boleh pulang. Belum waktunya. Sekarang lanjutkan mengerjakan soal bab berikutnya. Awas jangan ribut yah. Nanti bapak mau lihat di kerjakan atau tidaknya.” Katanya dengan tegas.
Pak Kardun kembali melanjutkan main bulu tangkisnya. Celaka baru lima menit mang Oyo sudah muncul lagi.
“Ada apa lagi Mang ? Tanya kepala darurat itu. Mesti hati kecilnya berkata inilah konsekuensinya menjadi pemimpin.
“Gan, ada tamu lagi.” Kata Mang Oyo.
“Ala suruh nunggu saja bersama orang tua yang tadi." Kata kardun sambil mengusap peluh dengan handuk.
"Tapi ini mah Gan sangat penting.""Si orang tua juga kan punya kepentingan." Sambil kembali bermain.
"Gan kali ini mah yang datang Wakil Kepala Kabin." Kata Mang Oyo serius.
"Waduh memebuat repot nih, mesti berganti pakaian."
"Masa Kepala Sekolah mana pula yang menghadapi tamu memakai pakaian olah raga." Kata Pak Jaja menyindir solmetnya. Mendengar penjelasan Si Mamang kali ini terpaksa permainan di "Skors" untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. Untunglah Wakil Kepala Kabin tidak lama singgahnya sehingga Doktorandus kita ini dapat kembali menepuk-nepuk bulu bebek.
Sungguh malang bahwa Mang Oyo datang lagi.
"Punten ini mah, Gan. Inimah tanda tangan saja, barangnya sudah diterima." Kata Si Mamang sambil memeberikan nota tanda terima.
"Oh Iya, aku ingat bahwa sekolah telah memesan 4 peti buku tulis dari toko buku." Terima kasih Mang. " Ia cepat cepat menandatangani nota penerimaannya dan cepat-cepat pula siap untuk service.
Maklumlah Drs. Kardun dan rekannya sudah hampir menang. Seandainya sudah hampir kalah kedatangan si Mamang akan dijadikan alasan untuk "tarik nafas". Dan berkat kelebihan kerjasama dan pembagian posisi meskipun stroke lawan lebih baik. Pasangan Drs.Kardun akhirnya mendapat kemenangan.
Kardun cepat-cepat berganti pakaian untuk kembali memerankan peran Kepala sekolah "fid daruri". Telepn berdering, sebuah suara berlogat Hongkong totok.
Tong Ben Sin : " Ini wapak dalektu ?"
Kardun : "Ya, pejabatnya."
Tong Ben Sin : "Apa Panyaba ?"
Kardun : " Semacam direktur juga, Tokeh." Sahut Kardun kesal campur ingin tertawa.
Tong Ben Sin : "Apa kilimang sutah ketelima ?"
Drs. Kardun teringat nota pengiriman tadi.
Kardun : "Sudah, sudah."
Tong Ben Sin : "Wakus-wakus, li sini sekalang ata yang lebih nomo satu. Apa wapa mau peseng laki?"
Kardun : "Nanti saja kalau sudah habis pesan lagi. Sekarang dibongkar saja belum."
Tong Ben Sin : "Wiasanya lua tika kali sudah hapis. Wayalnya kapang ?"
Kardun : "Nanti saja kalau sudah habis semua."
Tong Ben Sin : " Waaa, itu tita wisa. Itu untu di meca untung makang paki dang sole."
Kardun : "Nanti dulu, ini apa hubungannya dengan makan pagi makan sore ??? Kita kan sedang membicarakan kiriman buku ?" Sela Kardun sambil kesal.
Tong Ben Sin : "Wuku apa ? olang kecap, Tauco cap polote ampa peti, likilim sama situ olang.
Kardun : "Tokeh sudah salah kirim ini SMU bukan toko kecap. Tokeh sudah salah kirim,silahkan ambil lagi, maaf saya sudah tanda tangani nota pengantarnya, saya kira pengiriman buku."
Tong Ben Sin : "Watu cilaka, Si Mamat salah ngilim,....."
Beberapa saat kemudian setelah si tokeh mengambil kirimannya, Drs. Kardun sedang mengisi agendanya. "Satu lagi pengalaman menarik tapi bikin dongkol. Gara-gara gedung sekolah bekas pabrik. Satu bahan bagus bagi temanku Hidayat buat bahan "Golempang".



Malam bersiram hujan di satu bulan Nopember. Karena mati listrik dengan bantuan lampu temple penerang para aki kita abad 19. Drs. Kardun, Ketua PGRI Cabang Legokwinaya, tokoh pendidikan untuk abad Ruang angkasa tengah menyusun rencana HUT Organisasi, sekalian dengan hari guru. Otaknya berjalan lancar melahirkan idea-idea yang akan dikemukakannya dalam rapat pengurus Ancab nanti. Namun ketika pada rencana budget, kepalanya mendadak menjadi beku.
“Membuat rencana belanja sih gampang, akan tetapi bila tiba pada pemasukan, mendadak menjadi seret. Apalagi bila ia ingat bahwa para guru daerahnya sudah berenang dalam hutang.” Ia berguman sambil berkaca pada dirinya sendiri.
“ Menghutang adalah satu dilemma yang tetap kronis di kalangan para guru. Tidak berhutang dapur akan berhenti mengepul dan bebenyit (anak-anak) akan menyanyikan koor keroncong perut. Belum lagi butuh keperluan kerja paling top bagi Legokwinaya, sepeda motor, pakaian. Dinding perlu kalender yang serasi dengan gengsi seorang wakil Mendiknas di Legokwinaya, etc.. Semuanya itu tak akan dapat diraih tanpa mengeclok (melompat atau ngutang). Tapi bila eclokan itu di total jendralkan jangankan gaji yang dekat, gaji yang setelah itupun (bulan depan) ikut tergerogot….” Ia berbicara sendiri persiapan untuk sambutan rapat organisasi.

Seperti seorang peserta rapat yang mengantuk tiba-tiba mendengar ketukan palu ketua, Drs Kardun terkejut ketika sebuah teriakan terdengar dari rumah sebelah. Teriakan seorang perempuan . Keras dan menusuk dan bernada bawel. Ia tahu rumah itu di huni Ahmad Karibon Sukmanapapa B.A. Sekretaris Pendidikan dan Olah Raga Ancab Legokwinaya. Dan teriakan itu niscahya teriakan istrinya. Terdengar teriakan kedua menyebabkan Pak Kardun bangkit dari kursinya. Istrinya mengahampirinya.

“Kang, suara itu di rumah Ahmad Karibon…suara Titin istrinya !!! “ Akang mesti kesana..jangan-jangan ada maling” Dengan gelisah ia menghampiri suaminya.
“Tin kamu jaga di rumah, kalau ada apa-apa kamu lari ke pos hansip meminta bantuan !!!” Pinta Kardun sambil memberikan kode isarat penyerangan kepada istrinya.
“Ya..Yah Kang .” dengan perlahan, mengantar suaminya keluar rumah dan mengunci pintu rapat-rapat.

Rasa kebapaan sebagai ketua PGRI di Legokwinaya mendadak muncul dibatok kepala Kardun. Ia mesti turun tangan . Minimal ia mesti tahu apa yang sedang terjadi,. Sambil memegang pentungan bola kasti siap memukul bangsat yang mengganggu ketentraman.
“Siapa tahu Ahmad sedang tidak ada, kemudian ada perampok yang masuk. Tiba-tiba ia berpendapat lain. Bagaimana apabila Ahmad ada di rumah, kemudian mereka terlibat dalam konflik rumah tangga, yang merupakan peristiwa rutin bagi suami dan istri ? Niscahya intervensi semacam itu adalah sesuatu yang tidak dikehendaki. Bagaimanapun juga ia tidak boleh ikut campur dalam peristiwa itu. Jangan-jangan ia akan dicap tak tahu adat ?” Pikir dia dalam hati.
Ia sedah berketetapan untuk mengetahui sesuatu tentang apa yang sedang terjadi di rumah Sekretaris Pendididkan itu. Ia berdiri di depan rumah itu. Pintu depan tertutup. Apakah ia mesti mengetuk pintu ? dan… mengucapkan : “Assalamu alaikum “ dan ada apa ini , apa yang sedang terjadi ? Ia kembali berhenti. Sunggoh totol perbuatan itu.
“Dan you mau apa kesini ?” Apabila istri Ahmad Karibon yang terkenal bawel balik bertanya?” Apakah Bapak akan berkhotbah tentang tugas seorang Ketua PGRI Ancab dalan urusan laki-bini ??? Bapak harus menunggu jawabannya sampai kongres mencantumkannya !!!”
Pak Kardun berdiri di depan pintu.

“Tak salah lagi mereka sedang bertengkar. Jelas dari diskusi hangat dan nada suara yang keluar dari hati yang terbakar emosi. Emosi seperti api. Ia bisa menghangatkan dada tapi juga bias membakarnya sampai hangus.” Pikir Pak Kardun dalam hati.

Sebaris cahaya keluar dari sebuah lobang pinggir rumah. Naluri keinginan tahu Drs. Kardun tergugah, seperti keinginan tahu pegawai negri apabila sampai seletingan berita tentang rejeki durian runtuh rekan atau penggede. Isue kenaikan jabatan structural yang naik 2.500%. Ia menuju lubang itu dan mengintai kedalam.

Terang benderang di dalam rumah karena lampu petromax, penerangan yang up to date di Legokwinaya. Jelas mereka sedang bertengkar. Istri Karibon tampak sedang bertolak pinggang, matanya seakan-akan mau melompat dari kelopaknya, mulutnya membuat ekspresi yang niscahya akan membuat seorang anak akan terpeot ketakutan. Idem ditto Ahmad Karibon. Meskipun tidak segalak istrinya, ia nampak marah juga mendengar serangan-serangan istrinya yang berubi-tubi. Sementara disana terdapat pula orang ke tiga. Seorang setengah umur yang bagi Kardun nampak ketololan melihat orang bertengkar. Ia duduk diatas sebuah dingklik dan penuh perhatian melihat kedua orang yang sedang bertengkar itu. Ia adalah Pak Karta, Kepala EsDe pensiunan bekas ketua PGRI setempat.
“Situa tolol..” Pikir Drs. Kardun, “Mengapa ia diam ketololan. Tidak berusaha melerai suami istri sedang bertengkar.” Apalagi…..
Dari lobang kecil itu ia melihat istri Ahmad mengambil sebuah surat.
“Lihat, surat ini, tuan besar.” Teriak si istri. “ kau akan mesdustai aku lagi hah ? Ini adalah surat terbuka dari anggota-anggota yang dongkol.”
“Aku tidak dusta,Tin.” Ahmad menjawab. “Aku benar-benar ke Jakarta untuk menguruskan rapel teman-teman sekalian dengan kenaikan pangkat.”
“Tapi mana hasilnya ? Kau tahu teman-temanmu pada kecele karena usahamu nggak berhasil ? kau tahu mereka dongkol karena uang TKM tak kunjung nonghol….”
“Biarkan saja mereka menggerutu. Toh bukan aku yang harus bayar. Pemerintah yang wajib bayar.”
“Tapi kau kurang berusaha, Kau….”
“Tapi aku berusaha. Setengah mati aku turun naik tangga di Kantor itu, sampai dengkulku lemes, Tin. Namun demikian jawaban mereka, kita mesti tunggu sampai jatah tiba.”
“Persetan dengan jatah. Namun jelas kau cuma main-main ke Jakarta ya. Tuh lihat dalam Koran ini. Jatah sudah dibagi. Tiga ratus juta perak…..” Istrinya sambil memperlihatkan berita Koran terbaru.
“Itu bukan untuk kita, Tin. Itu untuk para pemimpin kita yang tanggung jawabnya, ratusan lipat kali kita. Kalau ujian bocor kan tanggung jawab mereka berat.” Suaminya berkilah.
“Apa kau kira tanggung jawabmu di kampung kecil ini tidak berat juga ? Apa kau lupa bahwa kalian sampai-sampai belekan menjaga naskah ujian, dan Pak Bahar sampai-sampai kumat sakit bengeknya karena digertak ancaman peserta ujian ???
“Kau tak usah berkhutbah, Tin. Semua itu aku tahu. Itu bukan urusanmu, itu urusanku.”
“Dan kau kira ini tidak menyangkut urusanku, ya.” Dan istri Ahmad mengeluarkan dua buah kertas kecil dan sebuah pas photo. “ Ini adalah dua buah sobekan karcis nomor kursi A satu dan dua, Hhmmm !!! Biar paling belakang yah.. Biar Asyik. Dan ini adalah pas photo perempuan. Pacarmu yang kau bawa ke bioskop yah. Itulah kerjamu ngurus nasib anggota.”
“Tin, demi Allah. Aku memang nonton, tapi bersama Pak Adang. Bahkan ia yang traktir aku. Dan itu adalah photo si Karsih anak Kepala Esde Rancadomba yang minta dimasukan ke EsEmPe.”
“Omong kosong !!!” Aku ngak percaya. Lihat tuan besar, itu sebuah kendi. Sungguhlah nikmat apabila ia dapat kesempatan hinggap dikepalamu yang pintar mengarang dusta itu….”
Dan Drs. Kardun melihat istri Ahmad menjangkau sebuah kendi besar sementara Pak Karta dilihatnya Cuma menonton saja. Sambil bertolak pinggang ia mengancam suaminya. Ia mesti bertindak cepat sekarang. Ia tak sampai hati membiarkan sekretaris pendidikan dan olahraga ancab Legokwinaya berkepala benjot akibat azab yang ditimpakan istrinya. Nota bene karena organisasi kurang berhasil . Drs. Kardun siap ikut campur.
Namun ketika akan meninggalkan lubang itu untuk masuk kedalam, tiba-tiba Pak Karta yang dari tadi berdiam saja itu berkata :
“Cukup-cukup itu baik sekali. Kau baik sekali Neng, begitu juga kau Jang Ahmad. Ekspresi gerak, kerjasama, dialog cukup baik dan isi mengisi. Apalagi kau Neng, ekspresimu dan intonasimu cukup menggambarkan perempuan bawel.”
“Memang ia benar-benar bawel Pak. “ Kata Ahmad Karibon.
“Bawel juga sayang pada suami, ya Pak.” Sahut istrinya.
“ Hanya aku tidak mengerti, mengapa setiap Ahmad menjawab kata-katamu kau tercengir-cengir. Padahal mimikmu bukan seharusnya begitu.”
“Habis setiap kali ia berkata, saya tak tahan bau mulutnya, Pak.” Kata istrinya.
“Kebanyakan makan jengkol,pak.” Kata Ahmad dengan tenang…
Drs. Kardun meninggalkan tempat itu. Tugasnya menyusun acara HUT telah terisi sebuah komedi, yang nyaris membuatnya menjadi ketololan.

Kegiatan olah raga merupakan salah satu kegiatan kegiatan Ancab yang paling kentara. Bagaimanapun juga insan-insan guru tidak dapat dipisahkan dari kegiatan olah raga, terutama guru-guru mudanya. Dan Kardun yang selalu “Young at heart” apalagi ditambah degan fungsinya sebagai Ketua PGRI di wilayah Legok Winaya, dengan sendirinya selalu tampil di barisan depan dalam kegiatan olah raga. POR PGRI Ancab Legok Winaya merupakan sebuah idea Bung Kardun kita. Dalam Sambutan Pembukaan POR PGRI di sebuah aula lapangan bulu tangkis menyampaikan pesan-pesan :
“Ancab Legok Winaya merupakan salah satu Ancab yang tidak ketinggalan dalam hal apapun dari Ancab-ancab lainnya dalam Wilayah PeDe (Pengurus Daerah) ini, lebih mantap dari ancab lainnya. Kesinambungan atau kontinuitas merupakan salah satu semangat kerja yang berhasil di tampilkan. “Gebrag tumbila “ atau “Panas-panas tai ayam” berhasil diganti dengan kerja yang terlihat hasilnya, kemudian dilanjutkan, berencana atas dasar yang tidak muluk-muluk, hebat-hebat. Meski sederhana akan tetapi memberikan satu hasil yang dapat dilihat, dan bisa dirasakan. Dan bila ada kekurangan di ketahui dimana letaknya untuk dihindarkan pada masa yang akan datang. Maka POR ini dengan resmi saya buka.”
Peserta yang terdiri dari para guru dari berbagai sekolah, EsDe, ES EmPe, dan EsEmU, bertepuk tangan riuh gembira….
“Direncanakan pula bahwa POR inipun akan diadakan tiap tahun, tidak sekali hidup terus wafat dengan setelombong motif “Kesulitan teknis, taktis dan tongpis alias kantong tipis. Jenis pertandingan diusahakan dapat diikuti oleh semua guru yang sehat jasmani dan rohani. Semua anggota PGRI harus berpartisi..sapi…aeh..berpartisipasi “ Melanjutkan pidatonya padahal tadi sudah resmi dibuka, habis gatel ingin bicara lagi pikirnya.
Catur merupakan kegiatan yang secara person juga diikuti oleh pembesar paling top Pegri di Wlilayah Legokwinaya ini. Namun dalam permainan catur paduka Ketua Ancab dijagokan untuk bertemu dalam semi final dengan Karpov- Kasparof dan Fischer-Fiscer local. Bahkan tidak sedikit yang meramalkan bahwa Bung Kardun berkat ketekunannya berlatih dan membaca buku-buku catur dalam dan luar negri dianggap paling “pantas” untuk keluar sebagai juara tahun ini.
“Teori-teori pembukaan seperti pertahanan Sisilia, Perancis, Alekhine, raja India, Steinitz, Petroff dll..dll telah aku pelajari, inilah “Olah raga benak “ Katanya kepada temannya sambil melemparkan buku-buku teori catur kepada temannya Pak Syukri.
“Tapi Dun, dari semua teori yang kau pelajari ada yang lebih penting yaitu latihan atau jam terbang mainnya,”
“Saya setuju, teori hanya merupakan rangka berfikir dan latihan adalah pengasahnya, supaya lebih jeli dan lebih tajam pikiran kita.” “Bahkan kalau perlu kita belajar Metalis seperti yang dilakukan “Master Joe Sandi” main catur tanpa mantra. Makanya sebelum perlombaan, team kita latihan dulu nati malam dirumahku ???”
Pada malam hari di rumah Pak Kardun berkumpulah para “Master Bermain Catur Tanpa Mantra” Pak Syukri, Bung Damiri, Pak Tardi, Wawan dan Ahmad Karibon. Para Master termenung di depan medan kayu dengan prajurit-prajurit dan opsir-opsir kayu dan semakin bertumpuk pula puntung-puntung Bentul, dan Gudang Garam serta kulit-kulit kacang diatas meja.
Ibu Kardun memanggil suaminya ke dapur.
“Aku senang melihat akang menggalakan kegiatan catur, tetapi bila kulit kacang pisang dan puntung rokok bersantai di atas meja, itu bias kotor ..kang!!” Sebagai tuan rumah ia berhak memberikan tanda lampu kuning kepada suaminya.
“Berikan kepada mereka tempat sampah, dan kantong kresek untuk kulit pisang dan kulit kacang… biar mereka membereskan sendiri… self service.”
Setelah approach yang sifatnya intern ini Kardun mengambil keputusan untuk mengembalikan kepada kondisi semula keadaan sehabis latihan catur, ditambah dengan ikrar “self service” bagi para gentlemen yang berlatih catur dirumahnya.
“ Mah, istirahat saja” Kardun melihat istrinya terkantuk-kantuk, menyuguhi tetamu yang sedang tenggelam dalam pertarungan antara tentara-tentara kayu itu.
Pada suatu waktu yang punya lelakon bersama beberapa temannya sedang asyik berlatih, tiba-tiba listrik padam.
“Eeeeeh…mati lagi….”
“Aneh listrik ini sudah dinaikan harganya tapi sering mati… gimana PLN ini ?” Kata Kardun menghibur para pemain catur.
“Kayaknya kampung kita ini belum pantas dapat listrik… mestinya pakai disel saja ..haahahaha…” kata pak Syukri menimpali.
“Sudah dua malam ini listrik kita ini mati.. besok mati lagi, kita datengi itu petugas.” Dengan gagahnya Wawan berkata dengan lantang.
“Permainan harus terus dilanjutkan karena hari ini adalah keputusannya menentukan 3 utusan cabang kita.” Sela Ahmad kepada rekan-rekannya.“Ya, untuk menangguhkan permainan adalah tidak mungkin, karena pada malam ini, akan ditentukan wakil kontingen catur dari ranting kita” Kata Kardun.
Sehingga Kardun terpaksa memanfaatkan sebuah lampu tempel dan beberapa batang lilin.
Kardun sebenarnya sedang dalam posisi sulit, karena lawannya bermain Pak Syukri Kepala SD Legok Winaya III sedang dalam posisi menyerang yang bila Kardun kurang waspada dapat berakhir dengan sebuah schak-maat.“Aduh patihku terkunci rapat tak dapat bergerak. Sementara kedua benteng Pak Sukri siap untuk mengadakan serangan total dengan system benteng berganda ditambah dengan patihnya yang sewaktu-waktu dapat menghabiskan riwayat Raja Kardun.” Pikirnya dalam hati.
Melihat bahwa kacang-kacang dan rangginang sudah tandas terkuras oleh Karpov-Karpov local itu maka Kardun pun pergi ke Lemari tempat istrinya menyimpan makanan. Dalam keadaan gelap ia menemukan stopfles dan meraba benda-benda bulat yang bila dicium baunya, tak anyal lagi adalah coklat-coklat kecil.“Coklatpun tak apalah.” Pikir Kardun. “Dari pada tidak ada sama sekali.”“Pak Heru, tolong ini antarkan makanan ini, sekalian dengan kopinya.”
“ Siap Pak, laksanakan.” Dengan sigap ia melaksanakan perintah sang komandan.
Maka hidangan kacang asin dan ranginang kini berganti dengan coklat yang mulai berpindah kedalam perut-perut para “Master” Legok Winaya ini diantarkan dengan hidangan kopi hangat, jasa bung Heru, komandan Hansip guru setempat. Sementara mengunyah dan menyeruput air kopi yang hangat mata tetap terpaku ke papan yang mulai kekurangan cahaya.
Suatu hal yang sangat mengejutkan ialah kini tiba-tiba situasi berbalik. Pak Sukri yang tadi dalam posisi menyerang kini seperti kehilangan pegangan.
“Aku sedikit demi sedikit dapat memperbaiki posisi dan siap untuk mengadakan counter attack alias serangan balas. Agaknya Pak Sukri terganggu konsentrasinya. Sebentar-sebentar ia menyapu keringat dari keningnya, memegang perutnya sambil menyeringai dan meminta izin untuk pergi kebelakang. Aneh…..” Pikir Kardun.
“Aduh…maaf Pak Kardun, saya mau ikut kebelakang sebentar !!!” Sambil memegang perutnya dengan dahi yang berkeringat.
“Aduhhh, saya …permisi dulu mau kerumah, mau ke belakang dulu.” Kata Pak Ahmad Karibon yang rumahnya dekat dengan Pak Kardun.
“ Pak Kardun, saya ikut ke kamar kecil…!!!” Kata Damiri.
“Silahkan lewat sini belok kiri.” Timpal Kardun.
Agaknya pemain-pemain yang lain sama senasib sependeritaan dengan Pak Sukri karena terlihat bergantian pergi ke belakang rumah Drs. Kardun. Sehingga setengah jam kemudian para pemain seorang demi seorang minta permisi dengan alasan tidak enak badan.
“Mengingat point yang telah tercapai pada latihan-latihan sebelummya kita mengambil keputusan bahwa anggota kontingen catur Ranting Legok Winaya adalah Pak Sukri, Pak Tardi dan saya sendir.”
“Aduhhh..setuju…” Sambil berlarian keluar rumah Pak Kardun.
Setelah para tamu pergi Kardun memutar otak apa yang menyebabkan para master catur sering kebelakang itu.
“Kenapa yah, mereka jadi kurang konsentrasi dan sering ke belakang..Mang Heru ?”
“Iyah kayaknya mereka kerasukan “Jurig” (Setan) catur saja yah pak !! Keracunan kitu !!!” Timpal Mang Heru dengan seragam Hansip lengkap.
“Ah masa saya tidak apa-apa.” Kata kardun kepada mang Heru.
“Iyah Mamang juga, tetapi …aduhh Den.. mamang ikut ke belakang !!!”

Keesokan harinya Kardun melihat istrinya mencari-cari sesuatu di dalam lemari makanan.
“Cari apa kau Mah ?”
“Broxlax untuk obat urus-urus De Sansan.” Sahut istrinya.
“Dimana kau taruh ? Tanya Kardun.
“Dalam Stopfles yang persegi.” Kata Ibu Kardun sambil mencari-cari stoples itu.
Darah Kardun tiba-tiba tersirap, memenuhi seluruh tubuh dan ubun-ubun kepalanya. Ia teringat coklat-coklat itu.
“Pantas saja mereka…. Jadi sering kebelakang.” Dengan suara pelan.
“Mengapa, Pap ?” Tanya Bu Kardun.
“Oh tidak. Semalam aku berikan kepada Pak Syukri “ Anaknya perlu urus-urus. Habis baru diberi obat cacing sih. Kau tidak keberatan kan?”
“Tidak, tapi kau berikan itu terlalu banyak. Satu dua biji sudah cukup buat seorang anak.”
“Habis lima orang anaknya perlu urus-urus.” Sahut Kardun dengan cekatan.

Undangan dibanting Nyonya Kardun ke atas meja, dibuntuti wajah meregut. Drs. Karta Dundawigena alias Kardun terkejut. Ia tidak menyangka bahwa istrinya akan bereaksi semacam itu. Tadi ia menyangka bahwa undangan resepsi itu akan mampu membawa seribu kecerahan dalam hati sang nyonya. Ternyata dugaan itu meleset. Seperti melesetnya dugaan akan lancarnya tuntutan kenaikan gaji guru ke gedung MPR menjadi 300 %, tunjangan guru 500% dan tuntutan anggaran pendidikan sampai 35 % di APBN.
“ Mengapa Tin, kau begitu ? Padahal aku sudah susah payah untuk mendapatkannya dari Bung Cunaryo. Rerepsi itu hanya akan di kunjungi undangan terbatas. Mestinya kau bergembira menerimanya.” Dengan wajah yang kecewa Pak Kardun melihat sikap istrinya.
“ Bukan undangan itu Kang, yang membuat aku sedih.” Sahut sang istri, dengan maksud mendinginkan suasana dan tidak bermaksud mengecewakan suaminya.
“ Habis apa ?” Tanyanya keheranan melihat sikapnya yang kemudian berubah cepat menjadi tenang.
“ Habis, apa yang mesti kupakai dalam resepsi itu ?”
“Bukankah brokat yang baru kau cicicl dari bu Uwar masih baik?” “ Atau itu seragam degung yang kau pakai tahun lalu dalam Pasang Giri Hari Guru –kan sungguh manis kulihat……” Ia berhenti berkata.
Ia berbicara sendiri dalam hatinya. Aku yakin bahwa perkataan itu tak akan mampu membujuk istriku. Melipur seorang istri yang merengek agar dibelikan pakaian baru sama sulitnya dengan menjinakan seekor banteng. Ia tersenyum sendiri melihat sikap istrinya.
“ Biarlah aku takkan pergi saja. Berikan saja undangan itu pada yang lain, yang mampu berpakaian layak.” Istrinya menegaskan sikapnya terhadap undangan itu.
Bung Kardun memutar otak sesaat. Ia memcoba mencari jawaban terhadap masalah yang cukup rumit ini. Barangkali gaji baru mampu memberikan jawaban ??? Wajahnya berseri-seri sesaat untuk kemudian ditutupi mendung. Cuma gaji pokok 15 % yang ditambahkan. Dan itupun baru kan muncul setelah resepsi itu. Kartu kredit buat menggesek belanjaan di Mall ia tak punya. Tiba-tiba ia gembira.
“ Mah, aku kan punya simpanan di Tabungan Simpedes di BRI, ada sekitar dua ratus ribu perak. Besok aku akan mengambil simpanan itu seratus ribu untuk membelikan baju baru… untuk mu Mah..” Pak Kardun berusaha agar istrinya tetap bahagia dan ceria.
“Baiklah, kalau begitu.. terserah akang saja.” Ia mulai tersenyum karena suaminya telah berusaha sungguh-sungguh memperhatikan keperluannya.
Dengan kendaraan Vespa ia mengantar istrinya ke sekolah sebagai guru SD, dan ia sendiri ke sekolah SMU tempat ia mengajar. Sepulang mengajar Pak Kardun dan istri mengambil uang di BRI sebanyak Rp 100.000,- untuk membeli pakaian yang layak. Mereka mendatangi sebuah Mall, FO ( Factory Outlet), Pasar Baru (yang sudah lama tapi namanya baru terus).
“ Mah, cari sendirilah pakaian yang pantas buatmu agar kelihatan cantik gitu.” Ia melihat senyum manis diwajah istrinya, secercah matahari di sore itu.
“ Oke Kang, aku akan mencari model yang paling mutakhir…model apa yah.” Ia terlihat bingung mencari pakaian yang bagus-bagus dan indah, tentu saja yang serasi dengan tubuhnya dan terutama dompet suaminya seorang guru.
Dengan sabar Pak Kardun mengantar isrinya memasuki satu toko ke toko lain, mencoba pakaian yang satu dengan pakaian yang lain, demi kebahagiaan sang isrti yang ia cintai.
Baju sudah selesai Drs. Kardun merasa bangga ketika melihat istrinya berpamer di depan kaca lemari. Namun ia kaget melihat wajah istrinya hanya gembira beberapa saat saja.
“ Apalagi kau Tin. Apa bahannya kurang cocok. Apa warnanya ? kan kau sendiri yang pilih ?” Ia bertanya keheranan melihat istrinya cemberut dan meregut kembali.
“ Bukan bahan ataupun warnanya kang.” Sahut sang istri mendinginkan suasana, yang menimbulkan perdebatan lagi.
“ Habis apa?” Ia ingin meminta ketegasan istrinya.
“Habis apa yang akan ku pakai ke resepsi itu ? Kalung 8 gram pun kita tak punya. Apalagi gelang. Soal gelang tak apalah. Orang biasanya tak melihat tangan, tapi leher Kang, leher. Itu sungguh nampak. Apalagi kalau polos. Bila bersalaman, bila masuk ruangan, orang-orang akan segera melihat bahwa leherku kosong…kosong Kang.”
“Tapi…kan lehermu bagus.” Ia menghibur membujuk istrinya.
“Kau tak usah bergurau kang.” Kata bu Kardun dengan kecewa. “ Biarlah aku tidak jadi saja….berikan saja pada yang lain undangan itu” Ia menagis dan merebahkan diri ke tempat tidur.
Dalam hatinya Pak Kardun berfilsafat tentang seribu satu keanehan ciptaan Tuhan yang Maha Indah yang disebut perempuan itu. Tiba-tiba ia mendapat ilham.
“ Mengapa kau susah-susah. Toh yang sangat kita perlukan ialah untuk dipakai pada malam itu. Aku tahu bahwa bibimu tante Nerkom banyak perhiasannya, kukira kau dapat meminjamnya barang satu malam.” Ia berusaha mencarikan jalan keluar agar istrinya tetap bersemangat untuk tidak putus asa dengan keadaan yang dihadapi sekarang.
“Baiklah kang, aku besok ke rumah Tante Nerkom.” Wajahnya nampak cerah, tanda setuju.
Sehari sebelum resepsi itu Bu Kardun berkunjung ke rumah Tante Nerkom dan setelah beberapa patah kata pembukaan, menceritakan kesulitannya.
“ Begini Tante, saya ada rencana untuk menghadiri resepsi di sebuah hotel, tetapi….” Dengan panjang lebar ia menceritakan maksud dan tujuannya dengan suara yang memelas.
“Yaa Alloooh, ari Enden, kepada Enden teh, Embi sedah menganggap anak sendiri, syukur-syukur … Endeng datang pada Embi. Kepada siapa lagi Enden minta tolong bila dalam kesulitan, kecuali pada orang tua. Silahkan si lucu sianak Embi, pilih sendiri. Mau yang mana yang akan dipakai.”
Setelah menghadapi kesulitan karena terlalu banyak perhiasan Tante Nerkom yang bagus-bagus, akhirnya Bu Kardun memilih sebuah kalung dengan bermata zamrud berwarna merah.
“Aduh, tante bagus-bagus sekali, saya bingung memilihnya?” sambil memilih dan mencoba memakai satu persatu.
“Ah, biasa-biasa saja…” Tersenyum sambil bangga dalam hatinya karena dipuji perhiasannya.
“Tapi itu yang merah…, rasanya serasi dengan pakaian yang aku pakai nanti…Apa namanya, Tante ?”
“Akh, tidak ada namanya, tapi Tante memberi nama Zamrud Merah Hati Titanic, hahaha … karena membeli ketika Tante dan Oom Nerkom pulang nonton Film Titanic.” Dengan bangga tante Nerkom menceritakan kejadiaanya.

Dalam resepsi itu Bu Kardun menjadi pusat perhatian. Banyak ibu-ibu dan juga bapak-bapak bertanya-tanya tentang wanita muda yang cukup menarik itu. Apabila Bu Kardun tahu bahwa dirinyalah sebagai manusia, secara paripurna dan bukan kalung atau pakaiannya, atau selopnya yang diperhatikan dan apabila ia sadar bahwa perhiasan badani dan personalitas lebih menentukan daripada perhiasan buatan insan akan tertolonglah rumah tangga dari ketidak puasan hidup.
“Mah, ini Istri Bupati, Ibu Maemunah.” Ia memperkenalkan istrinya dengan ibu Bupati.
“Entin” Sambil menjabat Ibu Bupati dengan bangga.
“Aduh, serasinya pakaian yang dipakai dengan kalungnya, dimana belinya Neng ? Sabil menggoyangkan kepala dengan penuh bangga.
“Ah, biasa saja, bu . Ibu terlalu memuji…” Membalas dengan senyum bangga di puji ibu Bupati.
“ Mah ini, Bapak Kepala Kandep Pendiknas dan Ibu.” Pak Kardun berusaha membahagiakan istrinya.
“Ini Kolonel Tatang dan Ibu.” Kembali Pak Kardun memperkenalkan seorang pejabat kepada istrinya.
“Ini Bapak dan ibu Ketua DPRD.” Pak Kardun yang mengharapkan keceriaan dari istrinya.
Wajah bu Kardun berseri-seri selama resepsi berlangsung. Ia diperkenalkan dengan pangede-panggede dan nyonya-nyonya yang dalam hati mereka mengaggumi kecantikannya. Setelah acara resepsi selesai, mereka menunggu di pelataran parkiran menunggu jemputan, para undangan yang mengenal Pak Kardun menawarkan tumpangan.
“ Pak Kardun mari kami antar sampai ke rumah, kebetulan kami lewat rumah bapak !!!” Bapak Bupati mengajak masuk mobil sedan barunya di balik mobil.
“Terima kasih Pak Bupati, kami sudah mencarter kendaraan…” Menggangguk sambil mempersilahkan maju terus kepada Bapak Bupati.
“ Ayoh atuh, Pak Kardun saya antar sampai di rumah, aman sama saya mah.” Kata Kolonel Tatang mengajak dengan halus.
“ Terima kasih Pak Kol. Tatang, kami sudah menunggu carteran mobil.”
” Ayo mah sudah agak sepi, mana becak carteran kita itu, mang Oyo itu, tidak nongol-nongol.” Tanya pak kardun kepada istrinya.
“Maaf …Gan mamang tadi di usir tidak boleh parkir disini, jadi mamang parkir di warung pojok itu…Ibu Oneh.” Mang Oyo memelas memohon dimaklumi atas keterlambatannya.
Apabila dalam resepsi wajah Bu Kardun itu seperti bulan purnama maka sepulang dari resepsi , wajahnya berubah menjadi bulan gerhana. Apalagi ketika sadar bahwa apabila nyonya-nyonya lain pulang ke rumah naik mobil, baik mobil pribadi atau dinas, ia dan suaminya mesti merasa puas dengan naik becak.
Dengan murung bu Kardun masuk kedalam rumahnya melewati sebuah gang yang tidak jauh dari jalan. Bu Kardun berdiri didepan kaca untuk terakhir kali memflas-back keadaanya dalam resepsi tadi, dimana ia memperoleh sukses gemilang. Pada saat itulah tiba-tiba wajahnya menjadi pucat.
“Kang, kalung itu… yang ku pakai hilang !!!!” dengan histeris ia berlari menghampiri suaminya.
“ Apa…??? Kalung itu hilang ? Masya Allah ? Coba kamu ingat-ingat dimana kira-kira jatuhnya ???” Ia terkejut mendengar keluhan istrinya.
“Tidak tahu kang, tapi … waktu aku naik becak kalung itu masih ada !!! mungkin jatuh waktu turun dari becak ? Ia mencoba mengira-ngira jatuhnya kalung itu.
Setelah dicari-cari didalam dan dihalaman rumah dan ternyata tidak ada, malam itu juga Drs. Kardun pergi ke tepat resepsi untuk mencari kalung itu dengan naik vespa si Mungil Hijau. Juga di tempat mereka berjalan menuju tukang becak tidak ditemukan.
“Celaka Tin.” Keluh Pak Kardun “Kita mesti menggantinya.”
Sang istri tak mampu berkata sepatah katapun. Bingung dan malu kepada suaminya.
“Besok kau katakan kepada Tante Nerkom, bahwa kalung itu sedang diperbaiki karena ikatannya lepas”
“Baiklah Kang …maafkan saya kang… ini salah saya kang !!!” Dengan menangis ia memohon pertimbangan kepada suaminya yang sedang termenung.
“Kita mesti menggantinya, itulah keputusan kita. Dari seluruh kekayaan hidup cuma satu yang tak boleh kita hilangkan. Kehormatan !! Harta duniawi keluarga kita tidaklah banyak. Kita harus mengumpulkan uang untuk membelikan kalung yang persis, seperti yang kita pinjam. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah ???.

Disebuah bengkel tempat temannya bekerja Dadan ia menawarkan motor vespa Hijau nya.
“Dan, aku butuh uang mendadak nih, mau menutupi pinjaman, aku butuh 2 juta, ini sebagai jaminanya motor vespa dan surat-suratnya, bila aku tidak mampu bayar boleh kamu jual saja !!! Ia memelas kepada temannya yang sedang mengawasi karyawannya bekerja.
“ Wah, Dun bukan akau tidak mau Bantu, tapi aku tidak punya uang sebesar itu…” Ia memcari keuntungan di tengah orang yang membutuhkan.
“Tolonglah, bagaimana kalau 1,5 juta…!!! Nanti kalau tuntutan para guru kenaikan tunjangan yang 300 % itu dikabulkan aku akan secepatnya mengambil motorku ini !!! Ia yakin Dadan temannya meskipun agak pelit tapi suka menolong sesama dalam sependeritaan.
“ Baiklah …1,5 juta, tapi bussines is bussines, kalau motor antik itu tidak kau tebus dalam 10 bulan aku akan jual motor itu.”
“Oke..lah” Ia termenung melihat vespa antik yang berjasa dalam memperoleh sarjananya telah berpindah tangan kepada seorang teman yang menjadi tengkulak motor.

Drs. Kardun mendatangi rumah Haji Mahmud, Bandar beras pada sore hari, dengan berjalan kaki, sambil membawa suarat-surat tanah yang akan ia gadaikan.
“ Begini Uak Haji, saya dan keluarga membutuhkan uang mendadak, saya bermaksud menggadaikan sawah di Rancagoong yang dekat dengan sawah uak Haji”
“Sebetulnya, uak sudah cukup dengan sawah yang ada, tidak perlu menambah areal sawah…, tapi dalam fiqih Islam kalau kamu mau pinjam uang itu harus ada borg, bortoch atau jaminan, jadi kamu butuh berapa nak !!!”
“Yah , karena sawahnya juga kecil uak Haji, bagaimana kalau 3,5 juta…?”
“Uak setuju saja, tetapi kalau malam ini uak tidak punya uang sebanyak itu, besok saja uak akan mencairkan deposito di Bank, kamu tunggu disana , yah…!!!”
“Terima kasih uak, kalau begitu saya pamit, Assalamu ‘alaikum…” sambil mencium tangan uak Haji.
“Wa alaikum salam waroh matullohi wabarokatuh”..

Ibu Kardun bermaksud menjual perhiasan emas di toko emas.
“Enci… saya mau jual perhiasan emas…berani berapa ci…!!!” Bu Kardun mengeluarkan perhiasan emas dari kantungnya yang masih disimpan dalam kotak kulit berwana coklat tua, tempat perhiasan orang tua jaman dahulu.
“Nanti dulu di timbang.” Si Enci menimbang seluruh emas dan menaksir harganya.” Yah semuanya ada 50 gram paling juga 2 juta.” Dengan mimik wajah yang tidak membutuhkan barang.
“ Murah teuing atuh ci… 2,5 juta lah..”
“Harga emas lagi turun, gara-gara dolar naik dan 2 mentri di ganti lagi..?”
“Murah teuing Ci … 2,25 juta kontan, saya jual.” Ia sudah malas berdebat masalah harga.
“Baiklah dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah…”
Emas perhiasan milik Bu Kardun dan warisan dari orang tuanya telah dijual tandas.

Dirumah Pak Kardun yang sederhana di Legokwinaya Pak Kardun dan Bu Kardun sedang mengkalkulasi hasil penjualan di siang hari tadi.
“ Aku berhasil mengumpulkan 6,5 juta rupiah, kamu berapa Tin ?” sambil menghitung dan mencatat sumber dana tersebut diatas kertas.
“ Tunggu aku hitung lagi ..” Ia menghitung satu persatu. “ Ada 3,6 juta kang, saya kira cukup untuk mengganti perhiasan itu ???” ku lihat di toko harganya itu 10 juta rupiah.”
“Kalau begitu ,. besok kita ke toko mas dan segera kita kembalikan perhiasan itu ..yah, 10 juta sudah terkumpul, ini adalah sebuah pengorbanan, demi sebuah kehormatan…” sambil menatap bangga melihat istrinya.

Dengan uang sepuluh juta rupiah tersimpan rapih dalam saku jasnya bagian dalam serta debaran hati karena takut uang itu hilang atau dicopet, Drs. Kardun dan istrinya pergi ke sebuah toko perhiasan permata dan mas, dimana mereka melihat kalung yang hampir serupa dengan yang mereka pinjam dari Tante Nerkom.
“ Si Eneng , ketemu lagi, mau jual emas lagi Neng ???” Kata si enci pemilik toko emas.
“Enggak Ci, sekarang mau beli, kemarin yang di jual sudah tidak jamannya, sekarang mau beli yang lebih mahal. Itu kalung berlian Titanic berapa harganya ?”
“Oh , itu mahal Neng harganya 10 juta rupiah terbuat dari rubby Eropa, biasa yang beli para artis Neng ?”
“Saya beli itu satu !!!!” Kang bayar uang nya !!! “ Ia memberi komando kepada suaminya.
Dengan sigap suaminya mengeluarkan uang yang disembunyikan di saku jasnya bagaian dalam.

Di rumah Tante Nerkom yang mewah itu, ibu Kardun bermaksud mengembalikan perhiasan itu
“Maaf, Tante kami baru bias mengembalikan perhiasan ini sekarang, karena suami saya sibuk sekali di organisasi PGRI mengurus tuntutan para guru ??” Sambil memberikan perhiasan yang sangat mahal itu.
“Tidak, apa-apa lucu.. yang penting kalian sehat-sehat saja.” Sambil menerima perhiasan itu tanpa di perhatikan langsung disimpan di tempat perhiasan dikamarnya.
“Maaf sekali lagi, kami tidak akan lama-lama karena di rumah tidak ada siapa-siapa, anak-anak di tinggalkan, anak-anak tidak ada yang memasak.”
“ Aduh buru-buru amat …lucu, belum minum-minum sedikitpun, tapi kalau begitu, tunggu sebentar Tante punya apel di kulkas buat si Ade dirumah !!!”

Di rumah pak Kardun sedang berembuk dengan anak-anaknya, Kamila dan Sansan.
“Kamila, kamu sudah besar, kamu tahu permasalahan keluarga kita, kita telah mengganti kalung Eyang Nerkom, yang hilang oleh ibumu, jadi sekarang papa dan mama harus membayar utang-utang itu ?
“ Yah Pap, kaka tahu , tapi Kaka tetap ingin dibelikan baju baru buat ulang tahun nanti !!! Ia memelas karena takut tidak dibelikan baju baru.
“Baiklah akan papa usahakan, hanya kamu harus memberi contoh pada adikmu untuk berhemat, tidak banyak jajan atau membeli yang tidak begitu diperlukan !!!”Kamila diam terlihat sedih.
Ibu Kardun sedang membacakan cerita kepada Sansan di tempat tidur, cerita tentang petani yang hidup sederhana meski dia kaya raya.

Pak Kardun untuk menebus motor dan gadaian sawahnya berusaha mencari tambahan penghasilan dengan mengajar privat les ke sana sini. Sementara bu Kardun melanjutkan keahliannya menjahit pakaian dan menjual kantong kepada ibu-ibu Darma Wanita. Bu Kardun yang semula hanya mengajar di SD dan mengurus rumah tangga, kali ini terpaksa turun tangan dengan macam-macam pekerjaan yang halal yang dapat mendatangkan uang.

Enam bulan kemudian utang-utang mereka lunas sama sekali. Dan betapapun besarnya perubahan mereka dalam waktu sesingkat itu. Ibu Kardun semakin dewasa, bukan saja dalam usia akan tetapi dalam pandangan hidup dengan sedikit mengorbankan sorot muka kegadis-gadisannya yang manja. Ia telah menjadi seorang wanita dewasa yang percaya pada diri sendiri.
Pada suatu hari kebetulan Bu Kardun berpapasan dengan Tante Nerkom di sebuah toko.
“Ya Alloooh, Enden sudah lama tidak datang ke rumah Si Embi. Dan mengapa Enden begitu berubah ? Dulu mah montok, sekarang kok agak kurus. Mengapa itu teh lucu, sakit ? Aduh kasihan teuing.”
“Ah, tidak apa-apa Embi mungkin karena kecapaian saja, hitung-hitung diet.”

Sedianya Bu Kardun mau menyimpan rahasia itu. Akan tetapi karena kini ia sudah berhasil berjuang dalam mengganti kalung itu dan membayar utang-utangnya maka tidak ada salahnya apabila Tante Nerkom ini diberi tahukannya.

“ Masih ingatkan Embi, ketika saya meminjam kalung Embi itu ?”
“ Ya.., Enden, mengapa kitu ?” kata Tante Nerkom
“ Embi terus terang saja, kalung itu hilang. Dan kami mesti menggantinya. Karena kami sadar bahwa kami bertanggung jawab atasnya. Bagi kami mengumpulkan uang Rp 10 juta bukanlah soal mudah. Kami mesti membanting tulang. Dan kini kami telah berhasil. Kami telah mengembalikan kalung itu dan utang-utang kami sudah lunas.”
Sorot muka membayangkan kebanggaan mengiringi perkataan Bu Kardun. Tiba-tiba wajah Tante Nerkom menjadi pucat.
“ Ya, Alloooh, kasihan teuing anak si Embi. Jadi Enden teh telah mengumpulkan uang sepuluh juta rupiah untuk mengganti kalung si Embi.”
“Betul, Bi dan kami berhasil.”
“ Ya, Alloooh, perhiasan mirah , murah jungjungan si Embi. Mengapa Enden begitu. Mengapa Embi tidak dikasih tahu ? Kasihan teuing. Ieuh, Enden Kalung si Embi mah Cuma…imitasi. Paling mahal harganya Cuma tiga puluh ribu perak………

(Diadaptasi dari cerpen Guy De Maupassant “ The Necklace)

Sekolah merupakan masyarakat kecil lengkap dengan segala problimnya, dengan suka dan dukanya, dengan segala peraturannya. Dan insane-insan yang menyiapkan lahir bathinnya untuk berkarya di masyarakat ini yang dijuluki guru-guru, mestilah insane-insan yang tabah dalam menghadapi problem-problim terutama yang bernada minor. Kurang-kurang tabah, insane-insan itu ada harapan diberi sertifikat dokter untuk bercuti karena tekanan darah tidak normal atau badan tiba-tiba menjadi kerempeng tanpa segala jamu atau tablet pelangsing.
Sekolah tempat mengajar Drs. Karta Dundawigena (Kardun) alias yang punya lelakon berkarya, termasuk sekolah yang secara relative tidak banyak problem. Ini sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa sekolah yang banyak problem “kenakalan” atau bahasa kerenya “Problem of Juvenile delinquency” adalah sekolah yang tidak beres. Karena beres tidaknya sekolah tidak tergantung kepada jumlah problem akan tetapi kepada para pemecahannya yang dapat menjamin terpeliharanya hubungan batin antara pendidik dan anak didik.
“Pak kardun, tolong mengisi di kelas II A, kebetulan Pak Edi sedang sakit, tapi beliau sudah menitipkan soal Matematika, bapak Kardun tinggal mengawasi saja !!” Kepala sekolah memberikan soal-soal matematika yang siap dibagikan kepada murid kelas II A.
“Baik Pak, akan saya laksanakan tugas tersebut, kebetulan saya mengajar pada jam pelajaran yang ke tiga.” Sambil menerima soal-soal ulangan matematika dari Kepala sekolah.
Jalil berlari menuju ruang kelas sampai di pintu dia berteriak mengagetkan teman-temannya yang sedang membuat rumus-rumus matematika pada secarik kertas, dan sebagian teman lainnya sedang mengerjakan latihan soal.
“Hure…hure..Pak Edi sakit, enggak masuk kelas, ulangan di tunda, sekarang pelajaran bebas !! ..”Bebas euy…!”“Hure…hure..” Cihuy…, bebas euy…”
Sebagian berdiri menyambut berita gembira itu, sambil melemparkan secarik kertas contekan berupa rumus matematika ke udara, sebagian dilemparkan ke temannya, sebagian lagi mengepalkan tinjunya dan mengucapkan “Yessss”
“Untung gua mah, tidak belajar tadi malam, habis ngantuk berat sih, sinetron tadi malam cerita yang terakhir… Si Dion akhirnya…….” Kata Minah yang ingin menjadi bintang film itu nyerocos menceritakan kepada Tutty.

Pak Kardun masuk ke Kelas II A, mengagetkan anak-anak yang sedang bergembira karena ulangan di tunda, berubah menjadi kekecewaan dan gerutuan.

“Selamat pagi, bapak mendapat tugas untuk menggantikan Pak Edi yang sedang sakit, akan saya bagikan soal ulangan matematika dan silahkan kerjakan yang paling mudah dulu, waktu sekitar 1,5 jam dan nanti dikumpulkan, selamat bekerja.” Pak kardun membagikan soal-soal ulangan matematika secara estafet dari depan ke belakang.
Pak Kardun mengawasi ulangan matematika sambil membaca surat kabar tentang kenaikan gaji guru yang akan dinaikan 300 % dan tunjangan fungsionalnya 500 % dan alokasi APBN untuk pendidikan dinaikan menjadi 35%.
“Dari pada untuk rekapitalisasai bank-bank bobrok yang katanya banyak bocor disana-sini lebih baik membangun SDM yang memadai dan jelas lewat pendidikan, guru sejahtera rakyat makmur sentosa” Pikir Pak Kardun dalam hati mengenang demo guru-guru di gedung MPR.
Ulangan sudah berjalan 20 menit anak-anak yang malas mulai bergerilya mencari contekan, rumus-rumus yang diselipkan mulai dibuka lagi….
“Hai Minah, apa-apaan itu matamu ?” Drs. Kardun sambil membelalak galak dari belakang kacamata. “ Jangan nodong, ya ngak becus mah, nggak becus saja.” Sambungnya sambil menggeser pantatnya karena terasa lagi gigitan beberapa ekor tumbila pada pantatnya.
Si Minah menunduk malu, mukanya kemerah-merahan karena kepergoki Pak Guru waktu menodong. Pak kardun pindah duduk kesebelah kursi tinggi agar lebih mudah mengawasi murid-muridnya. Pak Kardun memberikan nasehat :
“Matematika memang bukan pelajaran yang mudah. Terutama bagi siswa yang malas, yang baru membuka catatan kalau waktu ulangan telah mendesak.”
Pak kardun memang sukar dikibuli, semua catatan kecil yang dengan lihai dibuat oleh siswa, yang malas-malas untuk bahan penodongan dalam ulangan sukar dipergunakan. Mata Pak Kardun demikian tajam memergoki setiap kertas kecil yang muncul dengan perlahan-lahan dari lipatan buku dan tempat-tempat misterius lainya. Meskipun Pak Kardun sambil membaca sebuah surat kabar……. Seperti para pesulap The Master di acara tv, para Mentalist yang mampu membaca pikiran orang.
“Ait… Jalil, kalau nyontek pakai seni dikit dong !” Pak Kardun nyeletuk lagi sambil matanya tetap terpaku pada surat kabar.“Eeeh, tiddak pak, mau pinjam tepe ex” Jalil menyengir-nyengir sambil memegang kepalanya yang kosong. Usahanya untuk melirik pada pekerjaan Si Mohtar siswa terpandai dikelas mengalami kegagalan. Dia tidak putus asa.
“Pada suatu waktu aku mesti berhasil. Guru yang brengsek yang berlagak James Bond ini pada suatu waktu mesti lengah.” Kata Jalil dalam hati.Pak kardun membaca surat kabar lagi. Aanak-anak malas mulai siap-siap untuk melirik pada pekerjaan teman-temannya, meskipun mereka tahu bahwa temannya itu tidak lebih pintar.
Tiba-tiba semua mata tertuju pada pak Kardun. Dia menghampiri Sience anak tergenit yang sedang menunduk. Pak Kardun mengambil sebuah buku yang dipakai alas kertas ulangannya.
“Hmmmm ! Apa-apaan nih ?” Kata pak Kardun dengan wajah berkerut.
“Anu pak, buku…buku..pinjam pak.” Kata Sience dengan malu kepergok guru mentalist, tunduk kemalu-maluan. Sience dulu barangkali namanya Sinem atau Sinah.
Siswa-siswa meneruskan pekerjaanya dan mereka yang malas-malas meneruskan usahanya untuk mencontreng pekerjaan temannya. Hati mereka bertanya-tanya buku apa yang dirampas Pak Kardun dari tangan Sience.Pada waktu istirahat Sience dipanggil ke ruang kantor guru piket Pak Kardun, teman-temannya menanti di luar ruang guru.
"Buku siapa ini Neng ?" Sambil melemparkan buku tersebut di depan Sience (Introgasi ala Satpam pada pencuri)"
"Pinjam Pak" Dengan suara yang gugup
"Pantaskah kau bawa ke sekolah ?" Pak Kardun meminta penjelasan.
Sience : " Ti.....tidak Pak." Dengan terbata-bata.
"Mengapa kau baca ?"
"Sekedar ingin tahu saja, Pak." Katanya kemalu-maluan.
"Bukan untuk kau lakukan ? Hahahahahah, Sience, Sience ! Hahaha Anak sehijau kamu, bukan untuk kau lakukan ?"
" Eey si Bapa Mah" Dia mulai memamerkan kegenitannya. "Masa, atuh Pak."
"Awas ya, jangan kau baca buku cabul semacam ini. Malam Pengantin lagi. Hmmmm Hmmm ! Kamu toh masih pelajar. Buku tidak bermoral semacam ini. Hm hm ! Kau banyak baca buku-buku yang berguna, Sience, look at me !" Dengan satu gerakan buku itu sobek menjadi dua, dan sebentar kemudian melayang ke sebuah tempat sampah.
"Kau berjanji tak akan baca buku cabul semacam itu ya ?"
"Ya Pak." Katanya dengan pilu.
“Kau boleh pergi sekarang, bacalah buku-buku yang berguna. Zaman reformasi ini memerlukan bacaan yang bersifat membangun. Bukan blue books semacam buku sompret itu. Waktu aku muda belum pernah aku hamburkan nyawaku dengan bacaan sampah itu. Kau boleh pergi sekarang.” Khotbah Kardun kepada Sience.
Teman-teman Sience menyambut di luar ruang guru, dengan tertawa dan gembira. Pak Amin masuk ke ruang guru.
“Ada apa Dun, dengan Sience ?” Pak Amin bertanya sambil membawa Koran yang masih di baca Pak Kardun.
“Biasa dia ingin konsultasi, masalah kesulitan belajar di rumah.” Pak kardun menutupi masalah yang sebenarnya terjadi.
“ Oooh itu, saya kira dia berkelahi dengan temannya di kelas…” Sambil keluar kantor membawa Koran tanpa sepengetahuan Pak Kardun.
“ Pak, Pak Dulhamid tidak datang. Bapak saja sekarang yang mengajar.” Kata seorang wanita murid kelas IB dengan menongholkan kepalanya saja di pintu.
“Nanti saja, giliran bapak kan dua jam lagi, bapak mau istirahat dulu yah” Pak Amin nanti masuk ke kelas.” Katanya dengan tegas.
“Sompret ! Koran dipinjam si Amin lagi.” Gerutu Pak Kardun. “Mana harus menunggu 2 jam pelajaran lagi.” Mata Pak Kardun tertuju kea rah tempat sampah.
Diruang kelas Pak Kardun mendapat giliran mengajar.
“Coba Tina bantu Bapak mencatat soal-soal ini di papan tulis, kemudia kerjakan, dan nanti kita bahas bersama-sama jawabannya ?”
“Baik Pak.” Kata Tina.
Tina yang tulisannya paling bagus menulis soal-soal dipapan tulis, sementara Pak Kardun sedang membuka sebuah kitab yang tebal yang mereka kenal sebagai buku piket. Pak Kardun agaknya sedang membaca isi kitab yang tebal besar itu.
“Sompret !!” Dia tersenyum masam sendiri. Diantara dua lipatan buku tebal itu. Pak Kardun sedang asyik membaca sebuah buku kecil yang sudah sobek menjadi dua.
Syahdan pada suatu ketika Ibu Inah memergoki beberapa anak gadis sedang bercekikan sambil melihat beberapa buah foto, ternyata foto-foto itu adalah foto-foto adegan kotor ala Denmark. Bila yang melihat “ gambar-gambar Domba” itu adalah orang dewasa (siapa pula yang belum pernah melihatnya) niscahya sang ibu akan bertindak lain. Tetapi yang melihat justru anak perempuan siswa kelas satu dan diruang kelas lagi.
“Majalah apa itu Mience ?” Katanya dengan galak “Sini berikan pada ibu!!” Maka majalah kotor itupun dirampas sementara si siswa mendapat teguran dan nasihat.
“Bukan punya saya bu, saya menemukannya di halaman sekolah.” Keluh Sience.
“Ibu peringatkan, yah !! Jangan bawa buku-buku yang tidak bermoral, ke sekolah, apalagi membacanya !!” Sambil merampas buku itu “ Kalian kesini mau belajar, yah..bukan mencari hiburan, apalagi yang hiburan kotor ini.”
“Kami hanya menemukan di halaman sekolah bu, waktu kami olah raga, tapi bukan punya kami …betul bu.”
Ketika Kepala Sekolah mendapat laporan peristiwa itu, maka diambil keputusan bahwa pada hari Senin akan datang diadakan “Razzia”. Siapa tahu barangkali selain foto juga terdapat ganja atau benda-bendan narkotika lainnya.
“Setelah mendengar dari Ibu Ina, saya beserta Pak Kardun Wakil Kepala Sekolah memutuskan untuk melakukan Razzia yang akan dilakukan pada hari Senin pada saat upacara bendera” Kata Kepala Sekolah ketika rapat dengan para guru diruang rapat.
“Teknisnya bagaimana Pak, karena waktu upacara hanya sebentar ? Tanya Ibu Ina.
“Ketika upacara berlangsung, beberapa guru masuk kelas, satu, dua dan tiga kemudian memeriksa setiap tas siswa, siapa tahu ada yang membawa barang-barang narkotika, majalah porno atau VCD porno.”
“Bagaimana bila ada surat-surat cinta ?” Tanya Ibu Metty ibu guru muda yang agak centil.
“Surat cinta adalah sebuah kebebasan dan hak manusiawi, jadi tidak sama dengan foto cabul. Tapi ada baiknya bila saudara sekilas membacanya untuk bahan pengenalan lebih mendalam terhadap siswa itu dan mengetahui apakah cintanya itu “sehat” Atau “tidak”.” Kata sang Kepala Sekolah.“Mungkin Pak Kardun mempunyai pandangan atau pendapat mengenai masalah ini ?” kata Kepala Sekolah melanjutkan sambil melirik Pak Kardun yang terlihat termenung, setengah mengantuk.
“Secara psikologis “kenakalan remaja” anak puber tidak sama dengan “nakal” para Oom dan para tante. Kenakalan remaja bermula dari keingin tahuan yang sebenarnya merupakan salah satu unsur belajar. Tugas kita para pendidik ialah agar naluri ingin tahu hal-hal yang sudah diketahui (dan dilaksanakan) orang-orang dewasa jangan sampai mereka menjadi kecanduan sehingga ekses-eksesnya akan timbul.” Pak Kardun mengungakapkan kembali pelajaran Psikologi Pendididkan, yang dipelajari waktu kuliah di IKIP atau UPI (Universitas Padahal IKIP) sekarang.Arkian razziapun diadakan ketika para siswa sedang berbaris apel pada hari senin.
“Anak-anakku sekalian, bapak mohon pengertian dari kalian, karena ada satu hal yang sama sekali tidak menyenangkan telah terjadi disekolah ini. Maka kami akan memeriksa kantong-kantong anda sekalian. Kamipun tidak suka mengubrak-abrik milik orang lain. Akan tetapi apa boleh buat, ini adalah tugas dan demi ketenangan belajar para siswa sendiri. “Kalian harap diam dulu disini, karena kami akan mengadakan razzia ke kelas-kelas.” Kata Kepala Sekolah sang inspektur upacara dengan tegas.Perasaan terkejut dan cemas terbayang pada wajah-wajah siswa. Siapa pula yang senang milik pribadinya diperiksa orang, apakah itu legal atau tidak legal. Guru-guru masuk ke kelas-kelas.
Kardun mendapat tugas menggeledah kelas I B, bersama seorang ibu guru, Ibu Inah, yang kini merupakan seorang akseptor KB yang paling setia. Merekapun mulai menjalankan tugas.
“Bu, Inah agar penggeledahan berjalan lancar, kita bagi saja dua deretan bangku yang akan diperiksa. Ibu Ina di deretan sebelah Timur dan saya di deretan sebelah Barat. Setuju Bu..!!”
“Setuju sajalah..saya mah ikut suami saja..hahahah.?” Katanya dengan centil.
Setelah memeriksa beberapa deret bangku Pak Kardun dan Ibu Inah menyimpulkan tidak ada benda-benda yang masuk daftar hitam.“ Saya kira tidak ada hal-hal yang patut dicurigakan yang bisa mengecilkan hati. Hanya beberapa pucuk surat cinta, buku-buku nyanyian pop, beberapa majalah hiburan, uang kertas terselip disana-sini, catatan-catatan rahasia, rumus-rumus pembantu ulangan, bila kebetulan sang pengawas sedang lengah.” Kata Kardun menyimpulkan.
“Paling banyak tentang surat-surat cintrong dalam tas para siswa.” Kata Ibu Inah menyimpulkan hal yang sama.“Surat cintrong adalah benda pribadi yang paling aman bagi anak-anak untuk menyimpan rahasia pribadi, adalah wajar bahwa disanalah diketemukannya surat-surat itu. Mungkin menurut mereka bila disimpan di rumah niscahya orang tualah yang akan melakukan razzia terhadap surat-surat malang itu.” Kata hatinya sambil bahagia mengenang masa mudanya, yang punya julukan “Sang Romantis”
Tinggal sebuah bangku yang belum diperiksa Drs. Kardun. Sebuah tas wanita terletak diatasnya. Ia tenang-tenang membukanya untuk menjalankan tugas. Ketika membukanya ia mendapatkan sejumlah benda-benda yang benar-benar mencurigakan.
“Waduh gawat, tempat duduk siapa ini. Tablet-tablet “Nelstrin” dan beberapa alat yang termasuk daftar KB, terdapat disana. Sungguh mencurigakan ? Siswa wanita dengan pencegah-pencegah kehamilan.” Ia memutar otaknya, mengapa benda-benda untuk orang yang telah berkeluarga sampai terdapat di bangku siswa itu ? Jangan-jangan siswa putri itu ?
Drs. Kardun mengadakan penyelidikan lebih mendalam lagi terhadap isi tas itu. Ia tak sempat meneruskan tugasnya karena terlihat Ibu Inah berlari-lari menghampirinya sambil merebut tas itu.
“ Ey, Si Bapak etamah, punya saya…”

RIBUT  

DRS.KARDUN 0 komentar

Terlambat bangun menyebabkan yang punya lelakon Drs. Kardun, pergi ke sekolah tanpa sarapan dulu. Padahal sarapan merupakan satu service yang penting terhadap tubuh yang mesti dilaksanakan secara teratur. Pantaslah di lembur sinyoh-sinyoh , breakfast, onbijt, fruhstuk, merupakan bagian hari yang penting Dengan sarapan yang cukup untuk memberikan energi mereka siap memulai acara harian . Tentu saja tidak dengan jumlah yang berlebihan sehingga badan sulit diajak bekerja seperti sepeda motor yang kebanyakan oli dan bensin yang akibatnya “ngerebek” sukar distar.
Di rumah Pak Kardun di sebuah ruang kerja, Entin (Ny. Kardun) memasuki kamar kerja terlihat Pak Kardun sedang sibuk di meja komputer sedang membuat sebuah naskah.
“Pak sudah jam 03.00 sudah terlalu larut malam kamu belum tidur juga ?” Bu Kardun berusaha mengingatkan kerja keras suaminya yang melebihi kapasitasnya.
“Sebentar lagi selesai, tanggung ini naskah harus dikirimkan besok ? Dengan mata terjaga yang memerah sulit untuk terpejam.
Sampai pukul 04.30 adzan subuh, naskah baru selesai dikerjakan. Sesudah sholat subuh ia berdoa sambil ketiduran diatas sajadah. Pak Kardun masih tertidur dikamarnya, istrinya masuk membangunkannya.
“ Kang bangun sudah jam 6.30, kesiangan nih, aku harus mengantar anak-anak se sekolah, aku berangkat duluan”
“ Ya..yah duluan deh, kau berangkat duluan…” Dijawab dengan malas, dengan bola mata yang 25% terbuka, setengah sadar antara ingat dan ngantuk.
Ibu Kardun dan anak-anak berangkat ke sekolah, Pak kardun sendirian di rumah. Bangun kesiangan 20 menit. Jadwal rutin sebelum berangkat, mandi, baca koran, sarapan pagi terlewatkan. Sarapan pagi sudah habis oleh anak-anak karena ada acara makan di sekolah.
Arkian ketika ia berdiri di kelas itulah, pada jam pertama sang usus sudah mulai mengajukan usul-usul dan kecaman pedas dengan bunyi yang kesohor sepanjang masa. Sedangkan perut yang sedang berdangdut tidak karuan merupakan suatu hal yang tidak boleh dibiarkan. Dalam benak pikirannya ia berbicara :
“Salah-salah bias kejatahan sakit “maag” tanpa usul. Perut lapar apalagi tidak dapat dibawa bekerja. Kenakalan dan kerewelan usus biasanya membuat otak dan mata ikut tidak berkomunikasi secara normal dengan anak-anak dididknya” Kemudian ia mengatur strategi, agar dapat ke warung barang 10 menit.
Drs. Kardun telah mangambil keputusan bulat untuk menyabarkan sang usus. Sementara kelas sudah diberi bahan kegiatan untuk selama 10 menit, Pelajaran sejarah Dunia.
“Bapak akan memberikan tugas yang menantang masalah Revolusi Inggris soalnya antara lain ?
1. Keadaan dan peristiwa yang menyebabakan revolusi Inggris ?
2. Apa inti kejadian proses produksi yang mengakibatkan revolusi industri?
3. Apa akibat-akibat revolusi industri di Inggris?
4. Apa hubungan antara revolusi industri dengan berdirinya Partai buruh di Inggris?
“Silahkan di kerjakan di kertas selembar, nanti kita bahas satu persatu , Okey!!!”
Sementara yang punya lelakon langsung menuju warung Mang Ibin di belakang sekolah untuk memesan leupeut, rempeyek dan mie baso yang pasti dapat menghentikan dangdut intern. Bila tidak normal bisa menyebabkan tugas dilaksanakan secara serampangan dan mungkin dicampur ngambek, setiap insan kelihatan sifatnya yang asli. Tanpa polesan tanpa gengsi tanpa melihat apa yang disebut etiket. Pantas sinyo Britania mempunyai sebuah peribahasa “Hungger is the best sauce” lapar adalah bumbu yang paling jitu.
“Seorang guru tidak boleh lapar apalagi kelaparan dimuka kelas. Guru yang lapar mengajarnya tidak beres. Suka ngambek-ngambek atau ngantuk. Dan seorang guru yang ngambek sebaiknya jangan terus mengajar, istirahat dulu atau ambil “time out” seperti volley ball barang beberapa menit” Pikir pak Kardun melakukan jastifikasi atau pembenaran atas sikapnya itu, sambil memesan hidangan.
“Bi, biasa pesan baso, leupeut dan rempeyek jangan lupa saosnya !!!
“Biasa Den, pakai ceker ayam dan sosin…? Tanya bi Ibin.
“ Biasa weh bi…!”
Mang Oyo yang tahu Pak Kardun ada di warung menghampirinya.
“Maaf Pak, bapak Kepala Sekolah memerlukan bapak sebentar di kantor.”
“Memang ada apa mang?” Deangan herani bertanya.
“Kurang tahu …atuh Emang mah? Sambil makan beberapa kerat pisang goreng.” Kayaknya sebentar saja Den?”
Selamam lima menit Drs. Kardun sebagai wakil kepala Sekolah dan bapak Kepala Sekolah terlibat dalam sebuah perbincangan singkat.
“Assalamu ‘alaikum, ada apa pak?’
“ saya mendapat tugas dimnas ke Jawa Tengah, ada lokakarya selama tiga minggu, bapak Kardun nanti menjadi PJS Kepala Sekolah selama saya di Jawa Tengah !!!”
“baik Pak, akan saya laksanakan tugas berat ini !!!”
“Pak Kardun, nanti setelah mengajar menemui saya lagi ?”
“Baik pak” dengan sigap seperti tentara yang telah menyampaikan laporan bahwa upacara telah selesai. “Laksanakan”
Setelah selesai berbincang dengan Kepala Sekolah menuju warung untuk menyantap pesanan karya kebolehan Bi Ibin. Rempeyeknya terkenal empuk dan basonya mesti darurat akan cukup mampu menengkan usus Drs. Kardun yang tidak terlalau ogoan (manja) dalam soal makanan.
“Murid-murid pasti tidak tahu kalau aku nyelonong ke warung. Ke tahuan sedang ke warung pasti akan menyebabkan ketatnya disiplin sekolah yang sudah direntangkan menjadi terganggu. Ini sekedar untuk kali ini, hal yang sangat darurat, gara-gara tidak sarapan.” Pikir Kardun perlahan-lahan berjalan ke warung.
Drs. Kardun tiba-tiba di warung….ia menemukan dua orang siswa perempuan sedang jajan, padahal seharusnya mengerjakan soal yang ditinggalkan Drs. Kardun . Mereka nampak terkejut dan malu. Dalam hal disiplin yang punya lelakon terkenal streng.
“Ngapain kamu bolos disini ? Orang lain sedang asik bekerja.” Bentak Pak Kardun.
“Habis, lapar Pak.” Kata Nita sambil menyuap leupeut dan bala-bala kedalam mulutnya.
“Lapar ?” Apakah kamu tidak mengetahui peraturan yang mengatakan. Semua murid tidak boleh keluar kelas pada waktu pelajaran sedang berlangsung. Dan Kan bapak sudah memberikan tugas, apakah kamu sudah menyelesaikannya ???”
“Belum Pak, habis belum sarapan pagi pak.” Kata Tine yang mulutnya penuh dengan makanan.
“ Sekarang kamu masuk kelas dan kerjakan soal bapak.”
Dan selama lima menit penuh Drs. Kardun sibuk dengan nasehat-nasehat dan peringatan untuk kemudian kembali lagi ke kelas dan melupakan leupeut, rempeyek dan bakso ceker ayam untuk sementara waktu.
“Terus menerus mengajar sementara mata mulai berkunang-kunang dan perut berontak tidak banyak faedahnya.” Demikian dalam pikiran Kardun sambil memegang perutnya.

Pak Kardun masuk rumah dengan motor vespa hijau mungilnya, langsung bergegas ke ruang makan, menghampiri istrinya yang sedang masak di dapur.
“Mah… aduh lapar nih, dari pagi belum diisi dengan nasi !!! Sambil masuk kamar menggati pakaian kantornya.
“Habis akang bangun kesiangan, sebentar kang, nasinya baru setengah matang, paling juga 15 menit lagi !!! Sambil mengupas bawang merah yang membuat matanya berlinang air mata.
“ Aduh sudah tidak tahan nih, perut sudah berdangdut minta diisi !!! Sambil memegang perutnya.
“Yah, kalau sudah tidak sabar, ambil saja sendiri, tuh kayaknya kalau sayur lodeh sudah siap, dipanci.” Sambil kesal menyuruh suaminya self service.
Pak Kardun mengambil piring dan centong mengambil nasi setengah matang langsung dari langseng dan sayur lodeh dari panci. Dengan lahap dia makan seperti singa kelaparan.
“Tidak serasi sekalai… nasi setengah matang, sarur lodehnya kurang garam lagi…” berbicara sambil makanan penuh di mulut, nasi panas dan lodeh panas.
"Salah sendiri, ngak sabar sih, kalau mau nunggu nasi matang sayur enak harus sabar menunggu donk…” Istrinya dongkol pada suaminya 25 % marah.

Sebelum bnerangkat ke kantor , anak-anak sibuk mempersiapkan untuk berangkat ke sekolah, demikian juga ibu Kardun membantu mempersiapkan mereka. Pak Kardun membawa celana kantor yang sobek belum diperbaiki.
“ Mah… masa ini celana sobek sudah satu minggu belum kau perbaiki, hari ini aku aku harus memakai celana seragam ini, nanti celana dalamnya kelihatan donk.” Sambil memasukan celana kantor yang bolong di atas kepalanya sambil tersenyum kecut.
“Sini akau jahitkan, habis akang naruhnya dimana saja, waktu sudah mepet baru minta dijahitkan.” Sambil menarik celana kantor pak Kardun sambil menggerutu.
“Lho kok, kamu jadi sering marah-marah begitu …akhir-akhir ini.” Dengan nada melihat melihat sikap istrinya . “ Biar aku saja yang menjahit kalau kau tidak mau ? Biar sini.” Ia mulai kesal kesal juga melihat sikap istrinya hari-hari ini. Ia merebut celana dari tangan istrinya.
“Biar-biar aku bereskan.” Sambil pakaian itu ditarik lagi dari tangan suaminya. “Akang tahu beres saja.” Masih dengan nada marah yang meningkat menjadi 50 %.
Kamila menghampiri bapak dan ibunya yang sedang tarik menarik celana panjang kantor pak Kardun.
“ Papa sama Mama jangan berantem.” Sambil tangannya bertolak pinggang sebelah kiri dan tangan kanan menunjuk ibu dan bapaknya.
“ Enggak sayang papa sama Mama sedang latihan tarik tambang buat perlombaan.” Dengan perasaan malu pertunjukan mereka disaksikan oleh anaknya.
“Papa sama Mama janji mau belikan baju baru, buat ulang tahun Kaka nanti sore kan, Pap !!! Sambil mengharapkan persetujuaan papa dan mamanya.
“Yah, sayang nanti kita belanja bersama-sama , Oke !!! “ Tanda setuju.
“ Oke deh kalau begitu , kaka pergi dulu ke sekolah ?? Sambil mencium kedua tangan orang tuanya.

Pak Kardun sedang memimpin rapat PGRI di ancab Legok Winaya sampai sore belum selesai juga, Kamila dan Bu Kardun sudah lama menanti di teras depan rumah dengan hati yang was-was.
“Kemana Papa, kok belum juga pulang, kan sudah janji mau belikan baju baru sekarang ? Sambil menangis menghampiri ibunya. “ Pengen baju baru huhuhu….pengen baju baru uuuuuuu.” Menangis semakin keras.
“ Sebentar sayang, mungkin papamu sedang di perjalanan,… sebentar… sebentar juga dia sudah sampai ????
Sampai pukul 17.30 Pak Kardun belum juga pulang ke rumah. Pak Kardun baru masuk ke rumah dengan motor vespanya.
“Aduh maaf, papa harus rapat dulu di PGRI, ada masalah penting yang harus dibahas.” Katanya dengan meminta belas kasihan kepada istrinya dan anaknya.
“Gimana sih papa kan sudah janji.. mau beliin baju baru, papa ingkar janji lagi…” sambil menangis memukul papanya.
“Terlalu Pap, kita sudah menjanjikan membeli baju baru kepada Kaka sebulan yang lalu tapi akang cuma janji-janji sajaa !!!” Menambah dukungan buat anaknya.
“ Maaf,…ini tidak disengaja…bagaimana kalau besok sore, sekarang sudah malam ?” Sambil merendah, meredakan suasana.
“Nagak mau… pengen sekarang, ingin baju baru.” Sambil berlari kekamar tidurnya dan membanting pintu kamar.
“ Makanya Pap, jangan banyak bikin janji, pada anak-anak.” Mendukung sikap demonstrasi anaknya. Marahnya naik menjadi 100%.
“ Mah, aku kan sudah berusaha …, tapi inilah usahaku.” Berusaha membela diri tapi istrinya sudah lari tidak mendengarkan ucapannya. “Semuanya sama-sama penting, aku harus memilih dari semua yang penting dan ..aku bingung sekarang ini…hahh." Ia kesal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Pak Kardun dan bu Kardun semakin sering terlibat dalam pertempuran-pertempuran di garis belakang. Anak-anak sering terpelongo ke heranan melihat Papa dan Mamanya yang sangat doyan kasih nasehat agar selalu akur dengan saudara-saudaranya itu, saling gasak dengan kata-kata galak, atau saling gembot dengan pelotot sebesar jengkol. Debat-debat kusir tanpa uang sidang yang sangat sering mereka selenggarakan apabila situasi sudah gawat.

Dua minggu kemudian setelah pertempuran agak mereda, pertengkaran yang membuat keduanya kelelahan. Pertengkaran itu jelek pikir mereka. Dan untuk mengharmoniskan keluarga keduanya sepakat dimeja perundingan mereka pergi ke tempat biro konsultasi keluarga dengan psikolog yang terkenal Prof. DR. M. Akur.
“ Sebetulnya ada masalah apa antara Pak Kardun dan Ibu ?”
“ Saya heran Pak Prof, istri saya ini akhir-akahir ini cepat marah…” sela Pak Kardun.
“Siapa yang marah, tapi siapa yang memulainya…?” Istrinya tidak mau menerima.
“ Yah sudah cukup-cukup, dalam buku saya yang berjudul “Rumah tangga dan perkawinan” Masing-masing Pak Kardun dan Bu Kardun harus ada toleransi, saling pengeertian control dan kritik diri yang merupakan resep yang paling mujarab, bahwa keharmonisan rumah tangga tak dapat dibina apabila salah satu pihak mau menang sendiri saja.” Dengan tenang sambil melihat ke kiri dan kekanan melihat Pak dan Ibu Kardun.
“ Sekarang Pak Kardun sampaikan kepada saya apa-apa saja kebaikan dari istri Pak Kardun, seperti misalnya dia itu setia,… suka membantu, ceria dst. Demikian juga Ibu Kardun sampaikan kepada saya kebaikan-kebaikan suami ibu. Semua itu maksud saya adalah bahwa orang itu tidak selalu jahat pasti ada sisi baiknya, kadang-kadang baik, kadang-kadang salah. “ Diferent situation diferent character.” Dengan meyakinkan pak Profesor berkhutbah.
Nasihat itu ternyata sangat manjur. Katup pembukanya sebenarnya adalah niat kami sendiri untuk memperbaiki perahu perkawinan yang sudah bocor karena gerogotan-gerogotan sengketa rumah tangga. Diprakarsai oleh niat kami untuk menambal bocor-bocor perahu perkawinan kami, maka segala nasihat itu kami jalankan dengan hasil yang maximum. Dan kenikmatan perkawinan terasa hangat apabila setelah badai sengketa mereda, matahari keharmonisan kembali bersinar, yang lima belas tahun yang lalu pernah diberi ikrar kasih tanpa reserve disaksikan bintang-bintang dilangit mendung.

Satu bulan kemudian, terbit dari keinginan untuk menjalankan, terima kasih meraka dan sekalian menikmati kembali secomot keindahan masa berduaan mereka berniat akan mengunjungi Pak Profesor pada suatu senja yang mencorong.
“ Mah, sudah lama kita tidk jalan-jalan bersama. Muter-muter keliling kota.” Sambil memegang tangan istrinya dengan mesra.
“Betul Kang, rasanya membosankan kalau di rumah terus-terusan.” Dengan manja dia bicara seperti waktu masih gadis.
“ Kamu lucu deh, cantik sekali, bagaimana kalu kita silaturahmi ke tempat konsultasi Prof. M. Akur, sesudah itu kita jalan-jalan ke Mall ?”
“Tapi bukan untuk konsultasikan, rasanya kita punya masalah lagi yang harus di selesaikan !!!”
“Tidak, hanya silaturahmi saja, sekalian mampir.”
Dengan sepeda motor sebuah vespa tahun 1975 tetap dijalankan “safe” menuju tempat praktek rumah Pak Professor.

Diperempatan lima tiba-tiba Pak Kardun melihat sebuah Mercy menuju utara. Seorang pria tengah umur dan seorang wanita muda yang cukup menarik.
“Pak Professor dengan ibu, sepertinya sudah pulang dari tempat prakteknya.” Kata pak Kardun pada istrinya yang rapat menempel dibelakang dengan suara keras karena suara motor si Dukun yang meraug-raung.
“ Kita langsung saja kerumahnya, Kang !!!”
“Aku tidak tahu Mah, dimana rumahnya tapi nanti aku Tanya Bung Kadir nanti dia akan memberi tahu kita rumah Prof. DR. Akur.”
“Kalau begitu kita langsung saja ke Supermarket, kita kan sedang jalan-jalan.” Sambil memegang erat pinggang suaminya.
“Sebenarnya aku belum kenal Ibu professor itu. Tapi aku yakin bahwa itu adalah istrinya. Terpaksa kita tangguhkan kunjungan sore itu. Karena kita tak tahu sampai jam berapa Pak Professor dan Ibu yang catik itu sampai di rumah.”
Beberapa hari kemudiah, setelah mengetahui alamat rumah bapak Prof. Dr. M. Akur.
“Mah, sekarang menurut perhitungan bahwa Bapak Prof. dan Ibu pasti ada dirumah ??? Alamatnya ku peroleh dari Bung Kadir yang pernah berkunjung ke sana.” Dengan gembira mengajak istrinya.
“Iyah,.. kesempatan yang baik kang, ayo kita berangkat sekarang.” Sambil berangkat ke kamar mempersiapkan pakaian.

Si Dukun (motor vespa) mereka simpan dipinggir jalan sebuah toko, tanpa dikunci. Karena toh bangsat mana pula yang mau menggasak sepeda motor setua itu. Dan kalaupun mencoba, masih disangsikan kesanggupannya untuk menjalankannya. Kami berjalan menuju rumah Pak Professor. Matahari sore bersinar lembut. Istriku makin nampak cantik setelah gencatan senjata itu. Mereka mendekati rumah Pak Professor.
Tiba-tiba mereka mendengar suara maki-makian, galak, cerewet dan lantang. Jelas keluarnya dari tenggorokan seorang perempuan yang sedang marah.
Kulihat perempuan itu keluar. Pendek gemuk dan sekitar berumur 40-an. Dengan bertolak pinggang ia melihat, atau lebih tepat melotot ke dalam rumah sambil tangannya yang gemuk-gemuk bertolak pada pinggangnya yang sukar dibedakan dengan pinggulnya. Ia marah benar nampaknya. Dan aku teringat saat-saat yang semacam itu beberapa bulan yang lalu sering kami alami.
“Pasti Pak Professor akan segera turun tangan untuk mendamaikan perempuan maha galak ini dengan suaminya.” Kata Pak Kardun kepada istrinya.
Istrinya terdiam mendengar suara itu.
“Ayooooo., keluaaaaaaaar, monyet tua !!” Ia melolong panjang. “ Sipeot yang tak tahu diri. Ayo keluar peooooT !” Aku minta cerai sekarang juga peooot !” Dan dengan gagahnya ia menantang ke dalam rumah.” “Tua bangka yang tak tahu diri. Peot-peot masih pacaran. Ayo ceraikan aku sekarang juga.”
Dan dengan lincah , mungkin karena marah sehingga mampu menggerakan gumpalan-gumpalan daging tubuhnya demikian cekatan. Ia masuk kedalam rumah untuk barangkali menyeret suaminya.
“Mah, tunggu saja disini dulu, sebentar. Kalau Pak Prof, ada di rumah kita langsung menemuinya, kalau tidak kita pulang lagi saja.”
“Si perempuan gendut itu menarik tangan, menyeret suaminya, yang tampak sangat ketakutan. Wah gawat…” Aku memalingkan muka. Adegan ini terlalu tragis untuk aku lihat. Aku tak tahan lebih lama lagi berdiri di tempat itu. Kutarik lengan istriku untuk kembali ke sepeda motor yang dengan taatnya menanti di pinggir toko.
Aku tak tahan melihat Pak Professor diperlakukan dengan kejamnya oleh istrinya.
“Mah, kita pulang saja. Pak Professor dan ibu sedang tidak ada di rumah….”