Sekolah merupakan masyarakat kecil lengkap dengan segala problimnya, dengan suka dan dukanya, dengan segala peraturannya. Dan insane-insan yang menyiapkan lahir bathinnya untuk berkarya di masyarakat ini yang dijuluki guru-guru, mestilah insane-insan yang tabah dalam menghadapi problem-problim terutama yang bernada minor. Kurang-kurang tabah, insane-insan itu ada harapan diberi sertifikat dokter untuk bercuti karena tekanan darah tidak normal atau badan tiba-tiba menjadi kerempeng tanpa segala jamu atau tablet pelangsing.
Sekolah tempat mengajar Drs. Karta Dundawigena (Kardun) alias yang punya lelakon berkarya, termasuk sekolah yang secara relative tidak banyak problem. Ini sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa sekolah yang banyak problem “kenakalan” atau bahasa kerenya “Problem of Juvenile delinquency” adalah sekolah yang tidak beres. Karena beres tidaknya sekolah tidak tergantung kepada jumlah problem akan tetapi kepada para pemecahannya yang dapat menjamin terpeliharanya hubungan batin antara pendidik dan anak didik.
“Pak kardun, tolong mengisi di kelas II A, kebetulan Pak Edi sedang sakit, tapi beliau sudah menitipkan soal Matematika, bapak Kardun tinggal mengawasi saja !!” Kepala sekolah memberikan soal-soal matematika yang siap dibagikan kepada murid kelas II A.
“Baik Pak, akan saya laksanakan tugas tersebut, kebetulan saya mengajar pada jam pelajaran yang ke tiga.” Sambil menerima soal-soal ulangan matematika dari Kepala sekolah.
Jalil berlari menuju ruang kelas sampai di pintu dia berteriak mengagetkan teman-temannya yang sedang membuat rumus-rumus matematika pada secarik kertas, dan sebagian teman lainnya sedang mengerjakan latihan soal.
“Hure…hure..Pak Edi sakit, enggak masuk kelas, ulangan di tunda, sekarang pelajaran bebas !! ..”Bebas euy…!”“Hure…hure..” Cihuy…, bebas euy…”
Sebagian berdiri menyambut berita gembira itu, sambil melemparkan secarik kertas contekan berupa rumus matematika ke udara, sebagian dilemparkan ke temannya, sebagian lagi mengepalkan tinjunya dan mengucapkan “Yessss”
“Untung gua mah, tidak belajar tadi malam, habis ngantuk berat sih, sinetron tadi malam cerita yang terakhir… Si Dion akhirnya…….” Kata Minah yang ingin menjadi bintang film itu nyerocos menceritakan kepada Tutty.

Pak Kardun masuk ke Kelas II A, mengagetkan anak-anak yang sedang bergembira karena ulangan di tunda, berubah menjadi kekecewaan dan gerutuan.

“Selamat pagi, bapak mendapat tugas untuk menggantikan Pak Edi yang sedang sakit, akan saya bagikan soal ulangan matematika dan silahkan kerjakan yang paling mudah dulu, waktu sekitar 1,5 jam dan nanti dikumpulkan, selamat bekerja.” Pak kardun membagikan soal-soal ulangan matematika secara estafet dari depan ke belakang.
Pak Kardun mengawasi ulangan matematika sambil membaca surat kabar tentang kenaikan gaji guru yang akan dinaikan 300 % dan tunjangan fungsionalnya 500 % dan alokasi APBN untuk pendidikan dinaikan menjadi 35%.
“Dari pada untuk rekapitalisasai bank-bank bobrok yang katanya banyak bocor disana-sini lebih baik membangun SDM yang memadai dan jelas lewat pendidikan, guru sejahtera rakyat makmur sentosa” Pikir Pak Kardun dalam hati mengenang demo guru-guru di gedung MPR.
Ulangan sudah berjalan 20 menit anak-anak yang malas mulai bergerilya mencari contekan, rumus-rumus yang diselipkan mulai dibuka lagi….
“Hai Minah, apa-apaan itu matamu ?” Drs. Kardun sambil membelalak galak dari belakang kacamata. “ Jangan nodong, ya ngak becus mah, nggak becus saja.” Sambungnya sambil menggeser pantatnya karena terasa lagi gigitan beberapa ekor tumbila pada pantatnya.
Si Minah menunduk malu, mukanya kemerah-merahan karena kepergoki Pak Guru waktu menodong. Pak kardun pindah duduk kesebelah kursi tinggi agar lebih mudah mengawasi murid-muridnya. Pak Kardun memberikan nasehat :
“Matematika memang bukan pelajaran yang mudah. Terutama bagi siswa yang malas, yang baru membuka catatan kalau waktu ulangan telah mendesak.”
Pak kardun memang sukar dikibuli, semua catatan kecil yang dengan lihai dibuat oleh siswa, yang malas-malas untuk bahan penodongan dalam ulangan sukar dipergunakan. Mata Pak Kardun demikian tajam memergoki setiap kertas kecil yang muncul dengan perlahan-lahan dari lipatan buku dan tempat-tempat misterius lainya. Meskipun Pak Kardun sambil membaca sebuah surat kabar……. Seperti para pesulap The Master di acara tv, para Mentalist yang mampu membaca pikiran orang.
“Ait… Jalil, kalau nyontek pakai seni dikit dong !” Pak Kardun nyeletuk lagi sambil matanya tetap terpaku pada surat kabar.“Eeeh, tiddak pak, mau pinjam tepe ex” Jalil menyengir-nyengir sambil memegang kepalanya yang kosong. Usahanya untuk melirik pada pekerjaan Si Mohtar siswa terpandai dikelas mengalami kegagalan. Dia tidak putus asa.
“Pada suatu waktu aku mesti berhasil. Guru yang brengsek yang berlagak James Bond ini pada suatu waktu mesti lengah.” Kata Jalil dalam hati.Pak kardun membaca surat kabar lagi. Aanak-anak malas mulai siap-siap untuk melirik pada pekerjaan teman-temannya, meskipun mereka tahu bahwa temannya itu tidak lebih pintar.
Tiba-tiba semua mata tertuju pada pak Kardun. Dia menghampiri Sience anak tergenit yang sedang menunduk. Pak Kardun mengambil sebuah buku yang dipakai alas kertas ulangannya.
“Hmmmm ! Apa-apaan nih ?” Kata pak Kardun dengan wajah berkerut.
“Anu pak, buku…buku..pinjam pak.” Kata Sience dengan malu kepergok guru mentalist, tunduk kemalu-maluan. Sience dulu barangkali namanya Sinem atau Sinah.
Siswa-siswa meneruskan pekerjaanya dan mereka yang malas-malas meneruskan usahanya untuk mencontreng pekerjaan temannya. Hati mereka bertanya-tanya buku apa yang dirampas Pak Kardun dari tangan Sience.Pada waktu istirahat Sience dipanggil ke ruang kantor guru piket Pak Kardun, teman-temannya menanti di luar ruang guru.
"Buku siapa ini Neng ?" Sambil melemparkan buku tersebut di depan Sience (Introgasi ala Satpam pada pencuri)"
"Pinjam Pak" Dengan suara yang gugup
"Pantaskah kau bawa ke sekolah ?" Pak Kardun meminta penjelasan.
Sience : " Ti.....tidak Pak." Dengan terbata-bata.
"Mengapa kau baca ?"
"Sekedar ingin tahu saja, Pak." Katanya kemalu-maluan.
"Bukan untuk kau lakukan ? Hahahahahah, Sience, Sience ! Hahaha Anak sehijau kamu, bukan untuk kau lakukan ?"
" Eey si Bapa Mah" Dia mulai memamerkan kegenitannya. "Masa, atuh Pak."
"Awas ya, jangan kau baca buku cabul semacam ini. Malam Pengantin lagi. Hmmmm Hmmm ! Kamu toh masih pelajar. Buku tidak bermoral semacam ini. Hm hm ! Kau banyak baca buku-buku yang berguna, Sience, look at me !" Dengan satu gerakan buku itu sobek menjadi dua, dan sebentar kemudian melayang ke sebuah tempat sampah.
"Kau berjanji tak akan baca buku cabul semacam itu ya ?"
"Ya Pak." Katanya dengan pilu.
“Kau boleh pergi sekarang, bacalah buku-buku yang berguna. Zaman reformasi ini memerlukan bacaan yang bersifat membangun. Bukan blue books semacam buku sompret itu. Waktu aku muda belum pernah aku hamburkan nyawaku dengan bacaan sampah itu. Kau boleh pergi sekarang.” Khotbah Kardun kepada Sience.
Teman-teman Sience menyambut di luar ruang guru, dengan tertawa dan gembira. Pak Amin masuk ke ruang guru.
“Ada apa Dun, dengan Sience ?” Pak Amin bertanya sambil membawa Koran yang masih di baca Pak Kardun.
“Biasa dia ingin konsultasi, masalah kesulitan belajar di rumah.” Pak kardun menutupi masalah yang sebenarnya terjadi.
“ Oooh itu, saya kira dia berkelahi dengan temannya di kelas…” Sambil keluar kantor membawa Koran tanpa sepengetahuan Pak Kardun.
“ Pak, Pak Dulhamid tidak datang. Bapak saja sekarang yang mengajar.” Kata seorang wanita murid kelas IB dengan menongholkan kepalanya saja di pintu.
“Nanti saja, giliran bapak kan dua jam lagi, bapak mau istirahat dulu yah” Pak Amin nanti masuk ke kelas.” Katanya dengan tegas.
“Sompret ! Koran dipinjam si Amin lagi.” Gerutu Pak Kardun. “Mana harus menunggu 2 jam pelajaran lagi.” Mata Pak Kardun tertuju kea rah tempat sampah.
Diruang kelas Pak Kardun mendapat giliran mengajar.
“Coba Tina bantu Bapak mencatat soal-soal ini di papan tulis, kemudia kerjakan, dan nanti kita bahas bersama-sama jawabannya ?”
“Baik Pak.” Kata Tina.
Tina yang tulisannya paling bagus menulis soal-soal dipapan tulis, sementara Pak Kardun sedang membuka sebuah kitab yang tebal yang mereka kenal sebagai buku piket. Pak Kardun agaknya sedang membaca isi kitab yang tebal besar itu.
“Sompret !!” Dia tersenyum masam sendiri. Diantara dua lipatan buku tebal itu. Pak Kardun sedang asyik membaca sebuah buku kecil yang sudah sobek menjadi dua.
Syahdan pada suatu ketika Ibu Inah memergoki beberapa anak gadis sedang bercekikan sambil melihat beberapa buah foto, ternyata foto-foto itu adalah foto-foto adegan kotor ala Denmark. Bila yang melihat “ gambar-gambar Domba” itu adalah orang dewasa (siapa pula yang belum pernah melihatnya) niscahya sang ibu akan bertindak lain. Tetapi yang melihat justru anak perempuan siswa kelas satu dan diruang kelas lagi.
“Majalah apa itu Mience ?” Katanya dengan galak “Sini berikan pada ibu!!” Maka majalah kotor itupun dirampas sementara si siswa mendapat teguran dan nasihat.
“Bukan punya saya bu, saya menemukannya di halaman sekolah.” Keluh Sience.
“Ibu peringatkan, yah !! Jangan bawa buku-buku yang tidak bermoral, ke sekolah, apalagi membacanya !!” Sambil merampas buku itu “ Kalian kesini mau belajar, yah..bukan mencari hiburan, apalagi yang hiburan kotor ini.”
“Kami hanya menemukan di halaman sekolah bu, waktu kami olah raga, tapi bukan punya kami …betul bu.”
Ketika Kepala Sekolah mendapat laporan peristiwa itu, maka diambil keputusan bahwa pada hari Senin akan datang diadakan “Razzia”. Siapa tahu barangkali selain foto juga terdapat ganja atau benda-bendan narkotika lainnya.
“Setelah mendengar dari Ibu Ina, saya beserta Pak Kardun Wakil Kepala Sekolah memutuskan untuk melakukan Razzia yang akan dilakukan pada hari Senin pada saat upacara bendera” Kata Kepala Sekolah ketika rapat dengan para guru diruang rapat.
“Teknisnya bagaimana Pak, karena waktu upacara hanya sebentar ? Tanya Ibu Ina.
“Ketika upacara berlangsung, beberapa guru masuk kelas, satu, dua dan tiga kemudian memeriksa setiap tas siswa, siapa tahu ada yang membawa barang-barang narkotika, majalah porno atau VCD porno.”
“Bagaimana bila ada surat-surat cinta ?” Tanya Ibu Metty ibu guru muda yang agak centil.
“Surat cinta adalah sebuah kebebasan dan hak manusiawi, jadi tidak sama dengan foto cabul. Tapi ada baiknya bila saudara sekilas membacanya untuk bahan pengenalan lebih mendalam terhadap siswa itu dan mengetahui apakah cintanya itu “sehat” Atau “tidak”.” Kata sang Kepala Sekolah.“Mungkin Pak Kardun mempunyai pandangan atau pendapat mengenai masalah ini ?” kata Kepala Sekolah melanjutkan sambil melirik Pak Kardun yang terlihat termenung, setengah mengantuk.
“Secara psikologis “kenakalan remaja” anak puber tidak sama dengan “nakal” para Oom dan para tante. Kenakalan remaja bermula dari keingin tahuan yang sebenarnya merupakan salah satu unsur belajar. Tugas kita para pendidik ialah agar naluri ingin tahu hal-hal yang sudah diketahui (dan dilaksanakan) orang-orang dewasa jangan sampai mereka menjadi kecanduan sehingga ekses-eksesnya akan timbul.” Pak Kardun mengungakapkan kembali pelajaran Psikologi Pendididkan, yang dipelajari waktu kuliah di IKIP atau UPI (Universitas Padahal IKIP) sekarang.Arkian razziapun diadakan ketika para siswa sedang berbaris apel pada hari senin.
“Anak-anakku sekalian, bapak mohon pengertian dari kalian, karena ada satu hal yang sama sekali tidak menyenangkan telah terjadi disekolah ini. Maka kami akan memeriksa kantong-kantong anda sekalian. Kamipun tidak suka mengubrak-abrik milik orang lain. Akan tetapi apa boleh buat, ini adalah tugas dan demi ketenangan belajar para siswa sendiri. “Kalian harap diam dulu disini, karena kami akan mengadakan razzia ke kelas-kelas.” Kata Kepala Sekolah sang inspektur upacara dengan tegas.Perasaan terkejut dan cemas terbayang pada wajah-wajah siswa. Siapa pula yang senang milik pribadinya diperiksa orang, apakah itu legal atau tidak legal. Guru-guru masuk ke kelas-kelas.
Kardun mendapat tugas menggeledah kelas I B, bersama seorang ibu guru, Ibu Inah, yang kini merupakan seorang akseptor KB yang paling setia. Merekapun mulai menjalankan tugas.
“Bu, Inah agar penggeledahan berjalan lancar, kita bagi saja dua deretan bangku yang akan diperiksa. Ibu Ina di deretan sebelah Timur dan saya di deretan sebelah Barat. Setuju Bu..!!”
“Setuju sajalah..saya mah ikut suami saja..hahahah.?” Katanya dengan centil.
Setelah memeriksa beberapa deret bangku Pak Kardun dan Ibu Inah menyimpulkan tidak ada benda-benda yang masuk daftar hitam.“ Saya kira tidak ada hal-hal yang patut dicurigakan yang bisa mengecilkan hati. Hanya beberapa pucuk surat cinta, buku-buku nyanyian pop, beberapa majalah hiburan, uang kertas terselip disana-sini, catatan-catatan rahasia, rumus-rumus pembantu ulangan, bila kebetulan sang pengawas sedang lengah.” Kata Kardun menyimpulkan.
“Paling banyak tentang surat-surat cintrong dalam tas para siswa.” Kata Ibu Inah menyimpulkan hal yang sama.“Surat cintrong adalah benda pribadi yang paling aman bagi anak-anak untuk menyimpan rahasia pribadi, adalah wajar bahwa disanalah diketemukannya surat-surat itu. Mungkin menurut mereka bila disimpan di rumah niscahya orang tualah yang akan melakukan razzia terhadap surat-surat malang itu.” Kata hatinya sambil bahagia mengenang masa mudanya, yang punya julukan “Sang Romantis”
Tinggal sebuah bangku yang belum diperiksa Drs. Kardun. Sebuah tas wanita terletak diatasnya. Ia tenang-tenang membukanya untuk menjalankan tugas. Ketika membukanya ia mendapatkan sejumlah benda-benda yang benar-benar mencurigakan.
“Waduh gawat, tempat duduk siapa ini. Tablet-tablet “Nelstrin” dan beberapa alat yang termasuk daftar KB, terdapat disana. Sungguh mencurigakan ? Siswa wanita dengan pencegah-pencegah kehamilan.” Ia memutar otaknya, mengapa benda-benda untuk orang yang telah berkeluarga sampai terdapat di bangku siswa itu ? Jangan-jangan siswa putri itu ?
Drs. Kardun mengadakan penyelidikan lebih mendalam lagi terhadap isi tas itu. Ia tak sempat meneruskan tugasnya karena terlihat Ibu Inah berlari-lari menghampirinya sambil merebut tas itu.
“ Ey, Si Bapak etamah, punya saya…”

0 komentar

Posting Komentar