Lapangan upacara pada hari senin pagi, pidato pengarahan Kepala Sekolah tentang tata tertib dan disiplin di sekolah.
Kepala Sekolah : " Cuma anak bandel yang beramput gondrong, rambut harus pendek dan rapih, setiap murid yang memasuki suatu sekolah harus sudah siap secara fisik dan mental untuk memenuhi tuntutan-tuntutan berupa norma-norma dari sekolah itu, orang yang rambutnya panjang berarti tidak disiplin." Dengan semangat berkhotbah tentang keharusan berambut pendek
"Copet-copet pasar baru kabarnya kebanyakan berambut pendek. Rambut panjang adalah urusan mode." Kata Jalil berbisik di barisan guru-guru.
" Sssst, diam kita sedang upacara, nanti bapak Kepala Sekolah marah tidak diperhatikan." Kata Kardun, dalam hati kardun berbisik " (Aku sendiri tidak setuju dengan pendapat Jalil itu. Dalam beberapa hal memang aku sependapat dengan Pak Kepala. Bahwa tiap murid yang memasuki suatu sekolah sudah siap dengan fisik mental untuk memenuhi tuntutan berupa norma-norma dari sekolah itu).
"Tapi aku tidak sependapat bahwa urusan rambut ada sangkut pautnya dengan nilai-nilai manusia secara pribadi. Rambut panjang berarti tidak disiplin, aku tidak sependapat." Kata Kardun sambil berbisik kepada Jalil.
EFEK pidato sang Kepala Sekolah itulah yang membuat aku duduk berserah kepala kepada Si Mamang tukang cukur di jalan Jengkol.
" Bagaimanapun juga adalah tidak adil apabila aku sebagai salah seorang guru di sekolah itu tidak memberikan contoh kepada murid-muridku." Dalam bisikan hati Kardun.
"Mau di cukur den, silahkan duduk." Dengan perkataan "Bismillah" si Mamang cukur mulai bereaksi.
Di mulai dengan menutupi badan dengan kain yang dulunya pernah berwarna putih. Kemudian dengan pencukur ketam yang tidak terlalu tajam ia mulai melaksanakan profesinya, memendekan rambutnya yang keriting ala sapu ijuk kekeringan, yang karuan saja karena sang ketam sudah waktunya di purnawirawankan membuatnya beberapa kali tercengir-cengir karena rambutnya bagian sisi tertarik oleh alat cukur yang kelewat antik itu.
"Aduduh.... pelan-pelan atuh mang !" Karena rambutnya tertarik oleh alat cukur.
"Baik Gan, "Nguk" mamang akan pelan-pelan "nguk".
"Namun bagaimanapun juga untuk bercukur yang lebih representatif berarti minimal 10.000 perak harus ku ungsikan ke kantong sang barbir. Dengan sedikit menangung resiko rambut tertarik-tarik aku bisa menghemat 7.500,- perak. Karena dimuka ku terpampang kertas kumal yang dimaksudkan sebagai tarif. Bunyinya : Cukur " SEDERHANA" Jalan Jengkol 57. Potong rambut Rp 2.500,- Jenggot Rp 1000,- anak-anak Rp 1.500,- lumayan. Sisanya yang Rp 7.500,- perak dapat aku belikan "layer" (makanan ayam bertelur) sebanyak 2 kg. " Guman Kardun dalam hati. "Yah lumayan hemat."
"Aden ini guru yah, kayak anak Emang, Nguk !!!"
"Iya, Mang guru SMP" Ternyata Si Mamang orangnya peramah, seperti biasa tukang-tukang cukur lain. Satu hal yang cukup unik dari si mamang ini, ialah apabila berkata tenggorokannya keluar bunyi "Nguk" seperti orang tercekik. Aku kurang tahu apakah si Mamang cukur ini adalah bekas korban bengek atau bukan." Guman Kardun dalam hati.
Sementara si Mamang bekerja sambil mengomong terus serta selingan bunyi nguk-ngukan, Pak Kardun menjamah sebuah surak kabar lama dan membacanya.
"Nguk" ! Kabarnya Den, mulai satu Nopember nguk mah, Aden kalau ngebonceng harus pakai helm dua-duanya."
"Hooh." Dengan malas Kardun menjawab, karena sedang membaca surat kabar.
"Anak Emang juga yang kerja Nguk ! di Esde Cikurutug tangtunya musti pake."
"Apa motornya ?" tanya Kardun diantara kantuk akan huruf-huruf.
"Motor Bebek '76, Den. Tada teuing lucunya. Pake motor bebek, yang nguk ! dijalannya sama dengan sepeda, pake helem lagi. Apalagi kalau bonceng istrinya Nguk !!Hehehe. Dua-duanya Nguk ! Harus pakai helem. Dan sekarang mah, Nguk ! kalau ngebonceng mesti ngejegang seperti laki-laki para istri teh."
"Tapi toh itu untuk keamanan para pengendara itu sendiri."
"Betul, Den, tapi kalau sudah cilaka mah, Nguk ! Cilaka. dan Lagi, Den, Nguk ! Kalau pake Helem rasanya para pengendara ingin ngebut saja nguk !"
" Tapi tokh dengan adanya helem maka kemungkinan kematian akan diperkecil."
Pada saat itu pula Pak Kardun membaca sebuah berita yang berbunyi :

HAMPIR BUNUH ISTRINYA
TUKANG CUKUR SENEWEN

Bandung (PR) seorang tukang cukur yang
berparktek di jalan J No. 57, nyaris membunuh
istrinya, apabila tetangga-tetangganya yang
mendengar teriakan minta tolong dari istrinya
tidak datang ketempat itu. Peristiwa yang terjadi
kemarin malam itu dapat diterangkan bahwa
tukang cukur itu sudah lama menderita penyakit
ingatan, sehingga dalam keadaan kalap ia hampir
membunuh istrinya dengan sebuah pisau cukur.
Untuk sementara waktu dst. dst.

Dia tidak selesai membacanya berita itu, akan tetapi secepat kilat matanya menuju papan tarif tadi :CUKUR SEDERHANA, JALAN JENGKOL 57"
"Wah tukang cukur ini yang masuk berita dalam koran yang hampir membunuh istrinya."Bahwa si Mamang yang Nguk-ngukan ini adalah seorang senewen. Bahwa dia kini di dalam cengkramannya. Bahwa gunting yang kini dipegangnya untuk memendekan rambut mungkin akan dipakianya untuk memendekan umurku. Segala sesuatu yang tak diharapkan bisa terjadi dari tangan seseorang yang sinting." Pikir Kardun dalam hati.
Bulu kuduknya mendadak berdiri, peluh mulai mengucur dari dalam dan ketiaknya. Sementara Si Mamang mulai memotong rambutnya sambil mulutnya kulihat kumat kamit bercerita diselingi nguk-ngukan dari tenggorokannya.
"Celaka aku ! Goblok aku ! Karena ingin menghemat 7.500,- perak demi ayam-ayam keparat itu aku mesti menyerahkan nasib pada tangan si tukang cukur sinting ini." Guman Kardun dalam hati.
Drs Kardun, melamun tentang keluarganya : " Beberapa kemungkinan akan terjadi. Istriku akan jadi janda, dan anak-anaku akan jadi yatim. Dan satu lowongan pekerjaan akan terjadi di sekolahku. Demikian pula PD V PGRI akan kehilangan seorang anggota biro meskipun sedikit kerjanya. Aku tidak memikirkan tunjangan kematian yang akan diserahkan Biro Sosek kepada keluargaku. Aku cuma memikirkan cara aku melepaskan diri dari tangan si tukang cukur ini."
Di ruang tempat tukang cukur ia melamun lagi : " Untuk adu tenaga dengan dia, orang sinting itu, apalagi dengan gunting di tangan, adalah perbuatan yang sama sintingnya. Dan terbayang olehku proses selanjutnya setelah gunting ini : "Pisau cukur! Bila aku tidak ditikamnya dengan gunting ini niscahya pisau cukur itulah yang akan mengungsikan aku ke alam barzah. Padahal aku kelewat betah di dunia Tuhan ini. Aku mesti mencari kesempatan melepaskan diri. Si Mamang melepaskan kain penutup badanku dan ...aku terlambat sepersekian detik karena setelah sebentar membuang rambut-rambut yang menempel pada kain itu sambil sebentar-sebentar terdengar bunyi nguk ! Ia tahu-tahu sudah menaruhnya kembali."
Dengan sebuah sikat butut ia mengulasi muka dan pinggir kepalanya dengan sabun dari kwalitas yang paling rendah. Ia melihat menjangkau sebuah pisau cukur.
Hatinya berkata kini persoalannya adalah : "Sekarang atau tidak sama sekali ! Bagiku saat itu adalah persoalan hidup dan mati.
Ketika si Mamang sambil tenggorokannya berbunyi nguk-ngukan sedang mengasah pisau cukur itu dengan kulit pengasah, secepat kilat dia melompat dari atas kursi itu dan lari keluar. Belum pernah ia merasa ingin lari secepat itu. Pantatnya seakan-akan ingin mendahului badan depannya dan seperti biasanya apabila dalam suasana ketakutan, pantatnya mulai memberobot terbatuk-batuk seperti stengun yang ditembakan otomatis. Dan dia lihat si Mamang keluar dan dia lihat akan mengejarnya. Tangannya kulihat memegang sesuatu benda yang diacung-acungkannya sambil berteriak sesuatu.
" Eeeeeeuuy, cukurnya belum selesai, jangan dulu lari....."
Pak Kardun berlari terus di kejar tukang cukur. Dan orang-orang melihatnya keheranan. Pak Kardun memang mirip pelonco yang sedang digojlog oleh senior-senior yang kuliahnya tidak tamat-tamat. Dengan mukanya penuh sabun dan tutup badan niscahya sangat tepat apabila disebut barongsai menari. Beberapa anak kecil kulihat menunjuk kearahnya sambil tertawa. Untung tidak ada seorang yang lidahnya latah untuk meneriakan : "Copet ! Karena apabila itu terjadi niscahya akan dikejar orang dan besar kemungkinan akan mendapat hadiah-hadiah bogem mentah.
Disebuah tikungan Pak Kardun berhasil melepaskan diri dari tutup badan yang cepat dia lemparkan. Disebuah gang kecil berhenti dan berjalan sambil melepaskan lelah.
"Tukang cukur sompret , untung aku tidak dibunuhnya, tapi ya ampun kantong ku tertinggal dan surat-surat dinas, wah celaka 12 ini." Di tempat itu Pak Kardun sadar bahwa tasku berisi surat-surat dinas dan bahan-banahn untuk "Suara Daerah" tertinggal di tempat si Mamang cukur yang bunyi nguk-ngukan dan sinting itu. Untuk kembali kesana adalah diluar segala kesanggupannya.
Pagi hari Si Jalil mendekatiku dan memberikan surat kabar, yang menjadi bahan perbincangan guru-guru di sekolah. Pak Kardun membaca surat kabar.

SAKIT INGATAN ATAU TIDAK BERDUIT ?

Bandung (PR) Seorang pria dengan muka penuh sabun
dan mengenakan tutup kain untuk bercukur telah
berlari-lari di jalan J. Menurut keterangan seorang
tukang cukur di Jalan Jengkol 57 dimana ia bercukur,
orang itu minta dipangkas rambutnya. Sementara
bercukur ia membaca surat kabar. Kemudian ketika
hampir selesai dicukur tiba-tiba melarikan diri,
sementara tasnya ia tinggalkan. Menurut nama yang ada
pada tas itu, ia bernama K dan pekerjaannya sebagai guru
SLA di kota ini. Tasnya menurut keterangan tukang
cukur itu telah dikembalikan ke jalan Talagabodas 56
dimana orang itu mengantor sebagai biro organisasi.

Macam-macam perasaan bergalau dalam hati Pak Kardun, malu, lucu, Dan merasa sebagai orang tolol saat itu.
" Dun, tukang cukur sinting itu yang kabarnya akan membunuh istrinya itu yang alamatnya di koran disebut jalan J 57 adalah memang pernah membuka tempat cukur di jalan Jomlo No. 57, bukan jalan Jengkol 57" Kata Pak Jalil sambil menyindir Pak Kardun dan memberikan kantong yang berisi surat-surat dinas itu.
"Heheheheh....saya kira dia yang sinting yang ada di koran itu. ternyata sama-sama sintingnya."



0 komentar

Posting Komentar