Sekolah Lanjutan Pertama Legokwinaya akan mendapat kunjungan Bapak Kepala Kabin, meskipun tidak khusus meninjau sekolah tersebut, telah menciptakan suatu kesibukan yang luar biasa di sekolah itu. Sungguh hebat menurut ukuran Legokwinaya.
Hal-hal yang selama ini dianggap tidak mungkin, dengan selusin alasan "ilmiah" tiba-tiba menjadi mungkin. Usaha-usaha sekolah yang sebelumnya dianggap terlalu muluk, terlalu tidak sesuai dengan kondisi dan situasi "tiba-tiba" menjadi suatu kenyataan yang dapat "dibanggakan" dan sebagainya dan sebagainya. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat sekolah itu dapat memenuhi ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk mendapat penilaian yang mungkin cukup memuaskan, sedikitnya memuaskan orang-orang setempat.
Bapak Kepala Sekolah membaca surat dari Kanwil Pendidikan Nasional tentang akan diadakannya kunjungan Bapak Kepala Kabin, yang akan melakukan supervisi ke sekolah tersebut mengadakan rapat guru secara mendadak.
" Kita akan memberikan kesempatan kepada Kepala Kabin untuk mengadakan supervisi secara seharusnya.Kita tidak perlu mengada-ada yang tidak ada, tapi yang seharusnya ada itu wajib ada." Kata Kepala Sekolah memberikan pengarahan dan memberikan ketegasan.
"Pak Ending, Pak Kardun, Pak Jalil, sebagai kepala seksi kami harapkan menyiapkan berkas-berkas program kerja baik yang lalu maupun tahun ini." Perintah lanjutan Kepala Sekolah.
"Baik Pak akan kami selesaikan." Dengan serentak Pak Ending, Pak Jalil dan Pak Kardun menjawab.
"Demikian juga para guru harap siap dengan kelengkapan-kelengkapan administrasi yang semestinya dimiliki. Seperti persiapan harian, persiapan mingguan, dan bulanan, catatan-catatan, daftar angka, ledger, daftar pribadi murid, kumpulan soal-soal ulangan dll. dll, harap stan by, terutama saudara-saudara yang akan naik golongan harap seruan saya ini saudara laksanakan. Demi kepentingan saudara-saudara sendiri."
Kepala Sekolah dan Pak Jalil mengadakan inspeksi persiapan sekolah, melihat dari dekat sarana fisik sekolah." Mang Sarkim, itu kakus-kakus bau sekali !!! Bisa jadi membuat pingsan seekor kuda liar, coba beri Dreolin atau Densol, juga sekalian tulisan-tulisan nakal dan jorok pada tembok-tembok WC di cat dengan warna putih." Perintah Koordinator lapangan Jalil.
" Baik gan, nanti akan mamang bereskan." Kata Mang Sarkim sambil memelas kalah.
"Sekalian, tembok sekolah dicat bersih, biar nanti sehari sebelum berlangsung kunjungan itu halaman sekolah tertutup bagi permainan volley atau sebangsanya, yang dapat mengotori dinding." Perintah lanjutan dari Bapak Kepala Sekolah."Baik gan akan mamang laksanakan dengan semaksimal mungkin."
"Sekalian dengan perbaikan bangku, kursi dan genting yang bocor, memalukan sekali apabila Bapak Kabin atau utusannya akan kebagian jatah bocor apabila nanti mengadakan inspeksi." lanjut Kepala sekolah.
"Betul gan, maklum sedang hebatnya musim hujan." Mang Sarkim mengiyakan supaya tenaganya tetap dipakai Kepala Sekolah.
Rumput-rumput yang liar sebelumnya merajalela telah dibersihkan dengan memobilisir anak-anak. Bangku-bangku dan kursi-kursi yang reyot telah mendapat perawatan dari Mang Sarkim penjaga sekolah. Genting-genting yang bocor idem ditto telah diperbaiki berkat Mang sarkim yang cekatan.Kepala Sekolah :" Pak Jalil, tolong sampaikan instruksi saya, supaya anak-anak memakai seragam sekolah dengan rapi, terutama pada hari yang bersejarah itu. Siswa-siswa yang suka berpakaian urakan beri peringatan secara baik-baik dan yang sering terlambat juga dipanggil dan beri peringatan supaya tidak terlambat."
"Baik pak akan saya sampaikan instruksi bapak kepada rekan-rekan guru." Kata Jalil penuh penghormatan.
Kepala Sekolah :" Pak Kardun sebagai guru senior, tolong sampaikan kepada guru-guru yang kadang-kadang ke sekolah dengan bersandal mendapatkan teguran khusus. Yang sering terlambat juga di peringati secara baik-baik sesama keluarga."
"Baik pak , biasanya yang suka pakai sandal itu guru honorer pak, akan saya sampaikan."

Pak Ending BA, guru seni suara mendapat tugas khusus melatih para siswa melagukan lagu wajib secara seharusnya. Karena sebelumnya diketahui bahwa siswa belum mahir bernyanyi secara berpadu. Beberapa orang bahkan buta maat atau buta nada, sehingga sering menyanyikan "Satu Nusa " seperti Dangdanggula.
"Coba perhatikan kedepan papan tulis, kita akan menyamakan dulu suaranya ? Sa....." Dengan tabah pak Ending memimpin anak-anak yang suaranya tidak harmoni.
Murid-murid " Sa...saaaaa." Satu Nusa... Satu..bangsa."
"Coba , itu Dodi di belakang suaranya jangan terlalu cepat, mendahului teman-teman yang lain." Kita mulai lagi . samakan iramanya secara bersama-sama..Satu..Nusa..."
Tidak pula ketinggalan pula para guru, meskipun sebagian besar adalah tenaga honorer, mendapatkan instruksi khusus untuk menyiapkan segala keperluan. Beberapa guru yang sering nakal dengan tidak membuat persiapan, atau paling barter membuat catatan pelajaran yang telah diberikan, nampak sibuk sendiri membuat "Persiapan harian." berlaku surut untuk setriwulan penuh. Demikian pula persiapan-persiapan lainnya, etc.etc, diharuskan siap untuk diperiksa Bapak Kabin. "Siap tempur" untuk disupervisi sang Kepala Kabin. Guru-guru seperti terdapat diantara guru Sekolah lanjutan yang malas atau alpa membuat persiapan mendadak sontak menghabiskan ballpoint mereka untuk kembali mengingat-ingat pelajaran yang telah diberikan pada tiap kelas, sempat tersenyum lebar dan mengganggap hatinya telah plong dangan bangga memperhatikan kesiapannya kepada rekannya. Akan tetapi para beliau itu tak urung pula mengungkap-ungkapkan ingatan untuk mengisi "anekdot records" atau catatan-catatan kecil mengenai perilaku siswa.
"Anak yang bengal yang pernah di peringatkan Kepala Sekolah itu siapa namanya ?" kata Ibu Ina kepada Ibu Metty."Oooh, itu si Iwan, yang suka berkelahi itu !"
"Lalu yang suka ngantuk itu si Lina atau si Minah ? tanya yang lain."
"Yang sering membolos di II B itu Si Umar , Ya ?" memotong pembicaraan Ibu Ina dan Ibu Metty.
"Liburan semesteran teh tanggal berapa yah ?" Tanya Pak Jajang.
Drs. Kardun yang juga mengajar mata pelajaran Sejarah di sekolah itu turut sibuk. Karena yang punya lelakon ini adalah insan yang paling malas membuat persiapan dan catatan-catatan lain tentang siswa.
"Terus terang saja Hid, Aku sering lupa mencatat pelajaran yang telah diberikan. Apalagi membuat persiapan."
"Apakah dari dulu kau urakan dalam hal persiapan ?" Kata Hidayat.
"Tiiidak, dulu waktu mulai kerja...." Kata kardun
"Dan belum jadi sarjana" sela Hidayat.
"Hooh, aku termasuk salah seorang yang paling rajin membuat persiapan dan lain-lain. Tapi kau tahu bahwa makin lama kita makin menguasai vak kita, dan makin sedikit tantangan dari anak didik, dan makin renggang pula jarak pengetahuan kita dengan mereka, dan ...... semakin membosankan pekerjaan itu. You now why ? Karena tiap tahun kita mengajar yang itu-itu juga. Yang perang, yang kawin dengan Ken Dedes atau Napoleon Bonaparte itu-itu juga. You tahu bahwa aku mengajar sejarah sudah hampir 10 tahun tanpa lihat buku. Di luar ini nih..." dan ia menepuk dahinya.
"Jadi bagaimana kalau pak Kabin menanyakan persiapan ?"
"Akh Hidayat, pakai ini nih." dan ia menunjuk kepalanya lagi."Kita tulis aja deh apa yang telah kita berikan, kan aku tahu mulainya dan batas-batasnya."
"Itu namanya bukan persiapan lho."
"Ya memang bukan." jawabannya tenang. "Pokoknya itu adalah catatan apa-apa yang telah kita berikan, atau gbahasa muluknya "Persiapan Mental" yang sudah kulaksanakan di kelas. Memang semestinya aku membuatnya sebelum mengajar, pekerjaan ini menjadi demikian eentoning, monotonous, membosankan. Demikian santai aku memberikannya, sehingga yah terpaksa aku sering lalai membuat persiapan mengajar. Karena aku selalu siap. You boleh tonton bila aku mengajar sejarah dan bandingkan dengan beliau yang terbongkok-bongkok membuat persiapan, dan you dapat chek apakah yang dipersiapkan para beliau selalu sesuai dengan apa yang diberikan. Jadi catatan pelajaran yang diberikan itulah yang aku laksanakan."
"Jadi bila pak Kabin minta persiapanmu karena niscahya sang beliau melaksanakan tugas rutin administrasi terlepas dari kewajiban observasi psikologis terhadapmu, bagaimana ?"
" Sudah ku katakan, itu mah ada disini." Ia menunjuk lagi kepalanya. "Pokoknya Pak Kabin tidak akan kecewa bila melihat semua catatan Karta Dundawigena (Nama Lengkap Kardun). Satu lagi Hid, yang paling aku pentingkan dan belum pernah aku lalaikan bagaimanapun juga, ialah mengajar dan membuat catatan kemajuan anak, yang berupa daftar angka beserta catatan kecil. Itu belum pernah keluar dari ni (menunjuk lagi kepalanya) belum pernah ku karang-karang, terlalu gede dosanya.""Ngarang juga itu dosa, apalagi....." Kata Hidayat menyela pembicaraan.
"Ngarang persiapan juga memang dosa, hanya mungkin dosa kepada Pak Kabin dan pada hati kecilku sendiri. Tapi itulah salah satu segi yang tidak terlalu realistis dari supervisi, ialah tidak selalu yang terlihat yang terperiksa itu adalah pekerjaan yang rutin, yang perlu mendapatkan penilaian dan saran-saran perbaikan dari Bapak Supervisor. Kita tahu tiap manusia selalu ingin mempertahankan"standingnya", gengsinya conduitenya meski secomot . Kendatipun demikian dari pada tidak ada supervisi karena sekali-kali kita perlu melihat kekurangan diri menurut penglihatan orang lain."
Untuk menghadapi dialog yang diadakan, para guru telah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang"inteligent", bukan pertanyaan yang awam. Karenanya mereka sibuk membaca-baca tentang gagasan "Sekolah Pembangunan" sebagai persiapan mental agar nanti bila bapak Kabin berceramah tentang itu sudah terjadi kontak pengetian. Dan Bapak Kepala sudah mahir akan kata-kata pembukaan yang akan dipraktekan nanti, maklumlah sang beliaulah yang akan memimpin pertemuan itu. Segala pengalaman dari rapat dinas dan pegeeri siap untuk dimanfaatkan. Pokoknya the big boss must get very good impresion.
Drs. Kardun dan Jalil keluar dari ruangan dan terlibat berdebat dengan Pak Jalil tentang persiapan yang terlalu diada-adakan.
"Kalau segalanya serba diada-adakan. Bagaimana Bapak Kabin dapat mengadakan supervisi. Bukankah maksud supervisi adalah untuk memberikan sampai berapa jauhkah program sekolah dapat terlaksana, apakah yang menjadi rintangan dan hal-hal apakah yang dapat diperbuat bersama untuk mengurangi rintangan dan menyelesaikan program." Kata Kardun memulai pembicaraan.
" Teorinya memang begitu !" "Akan tetapi kau jangan lupa bahwa kesan baikpun perlu diberikan. Dengan kesan baik itu kita akan mendpat fasilitas-fasilitas, karena Bapak Kabin niscahya akan mempertimbangkan dapat tidaknya sekolah ini memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan."Kata Pak Jalil menyanggah pernyataan Pak Kardun.
"Baiklah, aku juga menggangap perlu akan hal itu. Akan tetapi batinku selalu berteriak apabila segala sesuatunya nampak terlalu diada-adakan, terlalu dibuat-buat, terlalu seperti sandiwara. Bukankah hal ini seperti politik ABS (Agar Bapak Senang). Padahal aku yakin bahwa Bapak Kabin terlalu berpengalaman dalam hal ini. Beliau niscahya akan mengetahui mana yang sudah biasa berlaku dan mana yang diada-adakan. Sambutan macam ini, pakai degung segala niscahya tidak akan membahagiakan beliau. Inikah kunjungan dinas, bukan kunjungan parawisata." Kata Kardun tidak mau kalah.
"Jangan lupa Dun, degung itu cuma dipamerkan, bukan untuk dimainkan bila Pak Kabin datang." Tungkas sang sobat.
"Okay, tapi kau lihat itu pamer-pamer photo. Itukah sama dengan mengelabui diri sendiri ? Karena sebagian terbesar adalah adegan-adegan yang pakai sutradara. Latihan-latihan tari, aktivitas perpustakaan yang nampak besar animonya, praktek ilmu alam, dll. dll yang kau lihat dalam photo-photo itu kan baru saja dibuatnya dengan memanggil khusus juru potret. kalau semua sekolah memamerkan hal-hal seperti kita bagaimana jadinya Sekolah Pembangunan nanti ?" Kata Kardun tak mau mengalah.
"Tapi kau jangan lupa Dun, bahwa sekolah kita ini perlu mendapat perbaikan-perbaikan. Ia perlu jadi sekolah teladan supaya mungkin jadi SL Pembangunan. Untuk mencapai ini kita harus memperhatikan kemampuan kita." Komentar sang teman.
"Kemampuan mana yang kau maksud ? Kemampuan atau pura-pura mampu ? Perlukah seorang pasien berpura-pura serba sehat apabila ada inspeksi dokter ?" Kata Kardun dengan analogi berfikirnya.
"Alaaaa, kau memang konyol, Dun. Guru macam kau ini tidak punya masa depan. Untunglah guru urakan macam kau tidak banyak." Tungkas sang sobat.

Syahdan pada hari bersejarah itu setiap warga disekolah itu sudah siap menerima kunjungan Bapak Pengawas. Semua berusaha berlaku sewajar mungkin. Agar segala sesuatunya mampak berjalan seperti sudah menjadi rutin.
Pak Kepala Sekolah " Dalam surat dijelaskan bahwa Bapak Kabin atau utusannya akan tiba jam 09.00 tepat. Para penyambut harap stand by."
Pak Jalil :" Segalanya sudah siap, Pak."
Pada saat itu jam dinding milik Pak Kepala yang sengaja dipinjamkan demi suksesnya supervisi sudah menunjukan jam 10.00 akan tetapi Bapak Kabin belum nonghol.
Jam 11.00 semua yang tadinya nampak tenang sudah mulai gelisah. Ibu-ibu guru panitia penyambut yang berseragam dan guru-guru yang tidak biasa berdasi, mulai berkeringat.
Jam 11.30 mobil bapak Kabin belum juga nampak. Celakanya langit mulai mendung dan hujanpun turun. Dalam hujan lebat itu sebuah mobil berhenti dan seorang guru cepat-cepat membawa payung untuk menyambutnya. Karena tak salah mobil itu adalah mobil Kabin.
Dengan dipayungi oleh Pak Jalil (guru yang cekatan itu) orang yang baru turun dari mobil menuju mereka yang sudah bersiap-siap. Ia bukan Bapak Kabin yang ditunggu-tunggu, bukan pula pengawas lain.
Utusan Kabin : "Maaf kami terlambat." Bapak Kepala Kabin tiba-tiba harus mengikuti rapat dengan Sekjen, dan mungkin besok hari beliau akan berkunjung kemari, sementara pengawas-pengawas lain pada sibuk. Saya hanya memberi tahukan saja. Tetapi agar kunjungan saya ini berguna. dan sesuai pula denga tugas saya di Kabin, maka saya ingin melihat catatan SPP di sekolah Sdr. Menurut catatan sekolah Sdr. belum setor selama 5 bulan........"Kepala Sekolah :"Jadi bapak mau melihat catatan SPP."
Utusan Kabin :"Betul, mungkin ada yang harus diperbaiki."
Kepala Sekolah :"Laporan itu, secara rutin kami kirimkan tiap bulan, Pak ?"

Ketika Pak Kabin jadi mengadakan supervisi di sekolah itu semua guru sudah siap dengan kelengkapan administrasinya termasuk Drs. Kardun. Ia sudah siap pula dengan"Persiapan harian." yang diciptakannya setengah malam, namun demikian ternyata yang diutamakan diperiksa kelengkapan administrasi adalah guru-guru yang mau naik tingkat saja. Sehingga Drs. Kardun yang telah membuat "persiapan" dengan pertolongan sebuah kalender, catatan libur dan dua buah ballpoint hitam dan biru dan sebuah pulpen, tidak diminta memperlihatkannya. Yang diadakan adalah konsultasi dengan guru-guru di ruang rapat. Meskipun ia sama sekali tidak merasa lega ataupun mendongkol sebenarnya ia ingin tahu juga reaksi Bapak Kepala Kabin terhadap "persiapannya" dan bertekad untuk mengatakan hal yang sebenarnya bila sang Bapak menanyakan tentang persiapan itu. Ia tahu benar Kepala Kabin seorang yang cukup baik human approach dan human understandingya di samping seorang yang correct.Sehabis konsultasi diadakan ramah tamah (dimantapkan dengan pincuk nasi rames) Drs. Kardun menyalami Bapak Kepala Kabin dan merekapun berceloteh.
Pak Kardun : "Akh, sayang bapak tidak melihat persiapan saya, begini rapi dan teratur." Sambil memperlihatkan buku persiapannya.
Pak Kabin :" Coba lihat, Yi." Kata Bapak Kepala Kabin yang selalu tak mau lepas dari cangklongnya. Bapak Kepala Kabin ini berkumis dan berjenggot, tinggi, berkacamata, dan cinta cangklonya. Pangkatnya usianya kurang lebih sama, dan sama-sama pula paceklik rambut bagian depan yang bertransmigrasi ke belakang.
"Pak Kabin : " Hmmmmm" Kata PBapak Kepala Kabin sambil melihat beberapa lembar "persiapan" Drs. Kita secara santai saja, sementara cangklong bertengger pada mulutnya."Bagus Yi, rapih (memang Ny. Kardun baru tadi pagi menyampulnya). Hanya baiknya, tanggalnya juga harap disesuaikan. " Kata Kepala Kabin dengan ramah dan santai, sambil mengembalikan buku persiapan doktorandus kita.
Pak Kardun : "Yah ampun, salah lihat kalender?????????????"
Drs. Kardun memang membuat sebuah kesalahan fatal. Kalender yang dipakainya sebagai pedoman adalah kalender tahun yang lalu.




0 komentar

Posting Komentar