Siapa pula takkan copot jantung bila kita pada suatu pagi tiba-tiba terbangun dan dalam keremangan 2 orang muncul mendekat dengan pisau di tangan. Tidak Moh. Ali dan tidak Joe Frazier yang tahan digebuk itu yang masih berlagak '' santai '' bila maut mengetuk pintu untuk mengungsikan kita ke alam lain. Apalagi Drs Karta Dundawigena alias Kardun, jago kita cuma jago bertutur bukan bertempur, jago pidato bukan ''maen Po'' atau ''Kempo''. Dua insan yang masuk ke kamar dengan hati-hati, berjingkat, pisau di tangan seperti dalam adegan filmnya Mister of Horor, Alfred Hitckok, niscahya bukan suatu panorama yang menyenangkan. Tidak seperti kalau yang membuat kita bangun itu sedang membawa kopi hangat dengan roti bakar kumplit dan menghidangkannya cukup ''ada deh'' atau ''aduh-hai'' (tentu saja bukan dari jenis lelaki).

Selesai menyampaikan ceramahnya Drs. Kardun di hampiri oleh Pak Asep, dan Pak Dani.
Pak Asep : '' Pak Kardun, sebaiknya bapak menginap saja disini sudah terlalu sore, di rumah saya saja, kebetulan kosong tidak ada yang menempati.''
Pak Kardun : '' Aduh .... terima kasih Pak Asep, lain waktu saja kasihan di rumah si Kucrit sedang menunggu nih....''

Pak Hidayat datang menemui mereka berdua, dengan terburu-buru melaporkan.
Pak Hidayat : '' Dun, mobilnya mogok tidak bisa jalan.....?
Pak Kardun : ''Mobil kita'' Si Iteung'' ?
Pak Hidayat : '' Betul, sekarang kita terlalu malam untuk pergi ke bengkel dan jauh lagi ? waduh bagaimana yah ?"
Pak Kardun : '' Apanya yang rusak ?''
Pak Hidayat : '' Karburatornya ''Pak Kardun : '' Mang Ejek bisa membetulkan tidak ? ''
Pak Hidayat : '' Bisa, tapi paling juga besok pagi jalannya ? ''
Pak Asep : '' Betul Pak, disini mah jauh kalau mau ke bengkel, dari pada di jalan ada masalah l
lebih baik bapak menginap saja dirumah saya. ''
Pak Hidayat : '' Betul Boss, demi keselamatan kita di perjalanan, kita menginap saja semalam di
sini.

Terpaksa tidur dirumah penduduk di rumah Pak Asep, mantan Kepala Sekolah SD. Pak Kardun dan Pak Hidayat tidur disebuah kamar. Pak Kardun terbangun terkagetkan oleh munculnya dua orang yang mendekat dengan membawa pisau ditangan. Di antara remang-remang kaca.

''Yat.... Yat...., Hidayat, bangun... bangun....'' berusaha menggoyangkan Pak Hidayat yang sedang tidur pulas, tetapi tidak bangun-bangun, karena makannya kekenyangan.
Pak Kardun : '' Waduh aku ini cuma jago pidato, bukan jago '' maen Po '' atau kempo.....wah....
Yat..... yat ..... bangun Yat.....''
Pemegang pisau itu semakin mendekat menuju kamar ke-dua Doktorandus itu.
Pemb-1 : ''SSSt !!'' bisik si pemegang pisau, '' Jangan buat mereka bangun.''
Pemb-2 : '' Kita potong dua-duanya, pak ? '' tanya yang satu lagi.
Pemb-1 : '' Yah, sahutnya. '' Tapi awas jangan buat gaduh ! ''

Pak Kardun melamun apabila pembunuhan itu terjadi pada dirinya dan Pak Hidayat :
Pak Kardun (Melamun) : '' Negara Republik Indonesia ini pasti akan kehilangan 2 puteranya yang terbaik. Ya Republik kita. Wilayah Kecamatan Legok Winaya. Drs. Kardun dengan Drs. Moh. Hidayat, Ketua Ancab Pegri dengan Sekbid Keuangan yang bertumbuh ''subur'' gambaran orang makmur lahir bathin itu. Ingat akan anak-anaknya yang menjadi yatim dan isterinya menjadi janda.....menerima santunan dari guru-guru......yang tidak begitu besar, hanya belasungkawa.........."
Pak Kardun : '' Yat...Yat...Bangun...ada yang mau bunuh kita...cepat bangun....'' Sambil menggo
yang-goyangkan tubuh sobatnya, tapi sobatnya tidak bisa bangun-bangun.
Pak Kardun : ''Aduh..bagaimana caranya menyelamatkan diri dari cengkraman El Maut.....''

Beberapa hari bahkan beberapa jam sebelum berlakunya adegan yang bisa mengistirahatkan jantung mereka.Tugas dari Ketua Cabang, dan kalau diteruskan ke atas dari Ketua PGRI PD Jabar dan Sekertarinya, telah menyebabkan kedua doktorandus kita berada ditempat ini dan sekaligus berhadapan muka dengan El Maut. Kardun dan Moh. Hidayat mendapat tugas untuk melaksanakan keputusan Konpus PGRI bahwa semua anggota PGRI dilarang menjadi anggota menjadi anggota partai politik,harus netral.

Pak Kardun : '' Kami berdua akan menyampaikan hasil keputusan Konpus PGRI bahwa semua
anggota PGRI dilarang menjadi anggota partai politik tertentu. Pilihannya adalah menjadi anggota terus atau exit dari Pegri bila keanggotaan partai politik tidak mau di talak tiga. Ini memang tugas berat. Karena di daerah tertentu, masih terdapat beberapa sobat guru yang masih cinta pada partai tertentu. PGRI memang merongrong ..... Anggotanya sendiri, bahkan aspirasi individul anggotanya sendiri.''
Pak Asep : '' Bukankah kita perlu berpolitik ... ! Kita perlu merespon kebijakan-kebijakan pemerintah apalagi kalau itu merong-rong hak-hak kita sebagai guru.''
Pak Kardun : '' Betul kita harus berpolitik, tetapi tidak berarti kita harus masuk partai tertentu
atau politik praktis, kita harus netral fungsinya sebagai pelayanan masyarakat, melayani semua golongan.''
Pak Hidayat : '' Dalam sejarah PGRI pada zaman Orla, PGRI ingin memelihara keutuhan organisasi, keutuhan kesetiaan anggota PGRI terhadap Negara berlandaskan Pancasila, sehingga ia pada masa itu sering berurusan secara fisik dengan mantel-mantel PKI (PGRI NV) baik yang berselimut organisasi swasts maupun yang bercokol dalam lembaga kedinasan. Kita bisa membayangkan berapa guru yang terlibat dan diamankan seperti di Jatim tahun 1967 bila PGRI tidak mau ''bobolokot''. Itu adalah PGRI ''tempo doeloe'' ?
Drs Kardun, menganggap bahwa missionnya cukup mendapat sambutan baik di daerahini. Ia tidak melihat sambutan yang negatif dari pada guru setempat. Mengapa tidak ?
Pak Dani : '' Sebetulnya keinginan insan guru Indonesia itu sangat sederhana dan elementer. Gaji tak perlu gede-gede asal cukup untuk hidup layak insan pendidikan dan datangnya tidak seret serta kenaikan tingkat yang menjadi hak setiap abdi negara tidak mesti seperti '' diperjuangkan '' segala kalau memang sudah ada aturannyadan pengaturnya.''
Pak Dodi : '' Partai ? Sory, Mister. Dari tempo doeloe juga sebagian terbesar insan guru tidak terlalu doyan. Karenanya putusan larangan anggota untuk berpartai politik bagi insan guru anggota Pegri tidak merupakan masalah.''
Pak Kardun :" Dugaan-ku mungkin meleset untuk orang khusus ini. Pak Asep adalah seorang wakil Kepala Sekolah yang disasuskan pernah menjadi tokoh lokal partai tertentu (tentu saja partai yang sah). Mungkinkah ia menaruh suatu dendam kesumat karena demikian cintanya kepada partai ? Padahal sikapnya kepada kita, inohong lokal itu cukup baik ????

Akan tetapi dialog di tempat gelap yang seram serta pisau ditangan niscahya hanya akan dilakukan oleh orang yang berniat jahat.

Para pembunuh itu sudah masuk kekamar kedua Doktorandus itu dengan kedua pisau yang terhunus, siap memotong ..........

Pemb- 1 : ''Ssssttt, awas hati-hati,'' bisik si pemegang pisau.
Pemb- 2 : ''Awas pegang baik-baik.'' Sambungnya.

Drs. Kardun menahan nafas, dan membaca doa-doa dalam hati semoga terjadi sebuah keajaiban
dalam jaman Globalisasi ini, sehingga ia masih bisa berpidato, mengajar dan menjual diktat kepada siswa Kapege.

Mereka semakin mendekat dan pisau yang tajam itu memotong........memotong.......memotong.....
ikatan dua tandan pisang Raja Cere yang tergantung dekat kaki doktorandus itu.

Pagi itu sarapan adalah goreng gurame, jengkol, emping dengan ''pisang Raja Cere'' sebagai cuci
mulut.
Pak Asep : '' Silahkan dimakan Pak Kardun dan Pak Hidayat ???? ''
Pak Dani : '' Dan ini Pisang raja Cere..... Sebagai pencuci mulut. ''

Pak Kardun melihat pisang raja cere perutnya menjadi agak mual, sedikit....kayaknya, kurang ti
dur atau masuk angin mendadak.

0 komentar

Posting Komentar